Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB Setiawan Wangsaatmadja
DEPOK - Untuk mencapai cita-cita reformasi birokrasi yang efisien dan professional, salah satu poin penting yang harus diperhatikan adalah mengenai manajemen kepegawaian. Menurut Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian PANRB Setiawan Wangsaatmaja, terdapat dua fokus bidang yang menjadi bidikan utama dalam, yakni menentukan petinggi ASN dan calon PNS.
“Petinggi ASN haruslah yang yang memiliki kompetensi yang memadai, begitu halnya dengan para calon PNS. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas ASN sehingga mempercepat pencapaian kinerja profesional yang berkelas dunia,” ujar Setiawan ketika menjadi pembicara di seminar bertajuk Mengawal Kebijakan Implementasi melalui Keterlibatan Policy Communities dan Evidence Based Policy di Kampus UI Depok, Kamis (2/4).
Setiawan menjelaskan jika penyeleksian petinggi dan calon PNS telah terlaksana dengan baik, maka akan menularkan efek perubahan positif pada kementerian, lembaga negara, atau pemerintah daerah terkait. Hal tersebut dapat tercapai jika kompetensi dari masing-masing petinggi dan calon PNS telah memenuhi kualifikasi.
Langkah itu juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan yang sering terjadi dalam pemenuhan tenaga ASN di seluruh Indonesia. “Seringkali kebutuhan ASN tidak sesuai dengan penempatan yang dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya.
Dia mengambil contoh Provinsi Kalimantan Timur yang terkenal akan potensi minyak dan tambang. Di sana terjadi banyak kasus pemerintah salah mengirim ASN yang tidak berkompeten untuk wilayah terkait. Alhasil, kinerja yang diharapkan pun tidak sesuai harapan, dan terkadang justru menyusahkan, imbuh Setiawan.
Mengenai posisi tengah kepegawaian ASN, Setiawan berujar bahwa hal tersebut merupakan pekerjaan lanjutan jika seleksi petinggi dan CPNS telah berjalan dengan baik. Ia berpendapat bahwa jika petinggi dan CPNS yang terpilih sesuai dengan kualifikasi, maka kemudian akan memberikan dampak perubahan kultur kerja di masing-masing instansi. “Karena posisinya di tengah, mau tidak mau mengikuti arus perubahan yang masuk berbarengan dari atas dan bawah, sehingga nantinya dapat tercipta kultur kerja ASN yang lebih profesional,” tukas Setiawan.
Setiawan prihatin dengnan rendahnya tingkat diklat yang diberikan kepada ASN, yang rata-rata sekali dalam 20 tahun. Hal tersebut merupakan penghambat yang cukup serius dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi. “Bagaimana ASN dapat meningkatkan profesionalitasnya jika jarang diklat? Masa iya harus menunggu, sepuluh tahun untuk mengikuti diklat. Keburu turun performanya,” tukas Setiawan.
Dia mengingatkan bahwa diklat diberikan bukan sebagai punishment bagi PNS untuk meningkatkan kinerja, melainkan harus diberikan sebagai penghargaan. Ia berujar bahwa melalui diklat, PNS akan dibekali oleh tambahan ilmu serta sklill untuk kemudian diterapkan di bidang pekerjaan yang dilakoninya. (hfu/HUMAS MENPANRB)