JAKARTA – Banyaknya Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Sabah, Malaysia, tak luput dari masalah, salah satunya adalah tidak adanya dokumen pernikahan yang sah yang akan berdampak pada hak dasar dan pendidikan bagi anak-anak mereka. Sejak 2011, Kementerian Luar Negeri, melalui Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu, menciptakan inovasi Menikah untuk Melindungi (Menikum) untuk selesaikan masalah tersebut. Hingga kini, ada 1.971 pasangan yang telah lakukan isbat nikah.
Program ini adalah hasil kerjasama Kemenlu dengan Mahkamah Agung RI pada tahun 2011, yang sepakat untuk memberi izin bagi Pengadilan Agama Jakarta Pusat melakukan sidang pengesahan atau isbat nikah di Kantor Perwakilan RI di luar negeri. “Selain itu, KJRI Kota Kinabalu juga melakukan pengesahan/pencatatan sipil bagi pasangan non-muslim pada tahun 2014 dan 2015 yang diikuti oleh 226 pasangan WNI/PMI non-muslim,” ujar Kepala Konsulat Jenderal RI di Kinabalu, Krishna Djelani.
Ada banyak manfaat dengan adanya program Menikum ini, yakni meningkatnya jumlah WNI/PMI yang telah memiliki buku akta nikah sehingga mempermudah mereka untuk melakukan pengurusan dokumen resmi lainnya. Jumlah WNI yang tidak mencatatkan perkawinannya ke instansi yang berwenang pun berkurang. Menikum juga memberikan perlindungan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, serta mengurangi terjadinya perkawinan siri.
Dijelaskan, apabila kedua orang tuanya memiliki dokumen perkawinan sejak awal, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan terlindungi hak-haknya, seperti hak waris dan hak mendapatkan pendidikan yang layak. “Sehingga status dan taraf ekonomi dapat meningkat di masa mendatang,” imbuh Djelani.
Djelani pun menceritakan, latar belakang diciptakannya inovasi ini adalah jumlah WNI di Sabah yang mencapai jumlah 600.000 orang, namun lebih dari setengahnya tidak memiliki dokumen yang sah. Keberadaan WNI tanpa dokumen dan menetap lama di Sabah mendatangkan permasalahan yang kompleks, terutama soal dokumen pernikahan.
Pemerintah Federasi Malaysia memiliki kebijakan melarang pekerja menikah dan memiliki anak. Namun, sektor perekonomian Sabah sangat tergantung pada sektor perkebunan sawit yang bersifat labour intensive, dan kekurangan jumlah pekerja. “Hal ini menyebabkan Pemerintah Sabah seakan menutup mata terhadap keberadaan masyarakat Indonesia tanpa dokumen di Sabah,” ungkapnya.
Tahap awal dimulainya program ini adalah memberikan informasi dan sosialisasi tentang pentingnya pencatatan pernikahan. Berikutnya, setelah masyarakat paham, adalah sidang penetapan perkawinan. Setelah itu, pasangan WNI diberikan buku atau akta nikah. Bagi yang sudah memiliki anak, akan diberikan surat bukti pencatatan kelahiran.
Di Malaysia, program Menikum diinisiasi pertama kali oleh KJRI Kota Kinabalu dan kemudian diikuti oleh Konsulat Republik Indonesia Tawau pada tahun 2012. Program ini diharapkan dapat dilakukan di Perwakilan RI lain yang menghadapi permasalahan serupa. “Ini harus terus dilakukan secara reguler setiap tahunnya, untuk mengurangi permasalahaan saat ini,” pungkas Djelani. (don/HUMAS MENPANRB)