JAKARTA - Di Jawa Barat, sekitar 70 hektar lahan perkebunan yang menganggur. Ironisnya, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan mengenai komoditas perkebunan yang cocok untuk dibudidayakan di lahan tersebut. Tidak jarang, salah menanam bahkan membuat tanah menjadi rentan longsor. Alih-alih mempelajari tanaman yang cocok untuk lahan yang dimiliki, banyak warga Jabar yang memilih hijrah ke kota karena dinilai lebih baik untuk meningkatkan perekonomian mereka.
Melihat fenomena ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menciptakan Sistem Informasi Peta Peruntukan Lahan Perkebunan (Si Perut Laper) untuk menjawab kesulitan yang dihadapi oleh warganya. Adanya sistem ini membuat produktivitas lahan dan warga meningkat serta menyelamatkan lingkungan dari ancaman longsor.
“Dengan sistem ini kita bisa memastikan kondisi lahan seperti cuaca, kemiringan, dan jenis komoditas yang pas untuk masyarakat. Tidak hanya membuat lahan bisa produktif dan menyelamatkan lingkungan, tapi juga warga desa tidak perlu lagi untuk hijrah ke kota,” ujar Gubernur Provinsi Jawa Barat Ridwan Kamil dalam presentasi dan wawancara Top 99 Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik di Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) beberapa waktu lalu.
Inovasi yang telah dikembangkan sejak pertengahan 2016 ini memberi rekomendasi budidaya komoditas perkebunan pada lokasi lahan tertentu melalui analisis tumpang tindih peta (overlapping maps) yang meliputi topografi, jenis tanah, geologi, dan klimatografi. Tidak hanya itu, Si Perut Laper juga memberikan informasi tentang faktor-faktor pembatas yang dimiliki lahan, seperti kemiringan lereng, tekstur tanah, ketersediaan oksigen, retensi hara, temperatur udara, dan curah hujan. Hal ini diperlukan untuk mendorong perkebunan berkelanjutan melalui perlindungan lahan dan pelestarian lingkungan hidup.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat Presentasi dan Wawancara Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) di Kantor Kementerian PANRB.
Menurut Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, adanya inovasi ini sesuai dengan tiga hal yang termasuk ke dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “SDGs-nya ada tiga: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sebelumnya tanah nganggur, sekarang bermanfaat. Dulu warganya tidak ada kerjaan, sekarang sibuk di kebun, dan lingkungan yang rusak, kini jadi lebih baik,” jelasnya.
Hal ini dibuktikan dengan adanya penurunan ketidaksesuaian pemanfaatan lahan dengan komoditas perkebunan yang ditanam menjadi 30 persen, dimana hingga tahun 2015 ketidaksesuaian ini mencapai angka 80 persen. Kondisi ini juga mendorong meningkatnya produktivitas perkebunan Jawa Barat rata-rata sekitar 2 hingga 3 persen.
Tidak heran jika pada tahun 2018 inovasi ini sudah telah diadopsi Kabupaten Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Cianjur, Bandung Barat, Ciamis, Majalengka, Subang, Purwakarta untuk dikembangkan dalam kegiatan pengelolaan perkebunan. Tahun 2019 peta peruntukan perkebunan berdasar kesesuaian lahan telah diminta Bappeda Provinsi sebagai bahan penetapan alokasi ruang budidaya tanaman perkebunan dalam masterplan pengembangan kawasan pertanian Jawa Barat.
Dalam pelaksanaannya, inovasi ini menggunakan teori pentahelix, yakni kolaborasi dari lima stakeholder yang bersatu membangun kebersamaan dalam pembangunan. “Semua pihak terlibat, kita gunakan teori pentahelix. Jadi akademisi, pemerintah, komunitas, pebisnis dan media bergabung dalam memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial,” tutup Emil. (nan/HUMAS MENPANRB)