Aparatur negara tak perlu takut dalam menyikapi pemberlakuan Undang-Undang No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), tanggal 1 Mei 2010 mendatang. Yang paling penting adalah setiap badan publik menyusun daftar (list), mana informasi yang dapat diberikan kepada publik dan yang dirahasikan.
Sekretaris Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Tasdik Kinanto mengingatkan, agar pejabat dan seluruh jajaran pegawai Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, dapat menyikapi pemberlakukan undang-undang tersebut secara proporsional. “Dengan berlakunya undang-undang tersebut aparatur negara tidak bisa lagi menutup diri, tetapi juga tidak perlu harus menelanjangi diri, dengan membuka seluruh informasi,” ungkap Sesmen PAN dan RB dalam sambutannya yang disampaikan yang dibacakan Kepala Biro Humas, Gatot Sugiharto, Jumat (26/3).
Ditambahkan, semakin terbukanya penyelenggaraan negara untuk diawasi publik dan makin dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi birokrasi, di mana kita harus bersikap transparan, sebagai prasayarat terwujudnya akuntabilitas.
Kebebasan berpendapat, keterbukaan informasi, berkembangnya masyarakat media, meluasnya berita-berita melalui internet, dan sebagainya menuntut perubahan mind set (pola pikir); culture set; sikap, kemampuan dan peningkatan kinerja aparatur penyelenggara negara. “Bukan hanya Humas pemerintah yang memang berfungsi dalam pengelolaan informasi publik, tetapi seluruh jajaran birokrasi pemerintah, termasuk Kementerian PAN dan RB juga wajib memahami, sehingga tidak hanya asyik dan terjebak dalam ‘kotak masing-masing,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Staf Ahli Menkominfo bidang Sosial Budaya, Suprawoto mengatakan, dalam menyusun list informasi yang harus dibuka dan yang dirahasiakan, rumusnya adalah kepentingan publik itu sendiri. “Kalau terbuka, manfaatnya lebih banyak, maka informasi itu sebaiknya dibuka. Tetapi sebaliknya, kalau ternyata manfaatnya lebih banyak kalau ditutup, yang ditutup saja,” ujarnya.
Dikatakan, dalam undang-undang itu, setiap badan publik memang diberikan kewenangan untuk menentukan, mana informasi yang dibuka dan mana yang dirahasiakan. Undang-undang ini juga mengamanatkan perlunya dibentuk pejabat pengelola informasi di setiap badan publik, yang minimal pejabat eselon II.
Dalam hal ini, diimbau agar pengelola informasi mengumpulkan stake holder, seperti pers, perguruan tinggi, LSM, masyarakat umum, tokoh masyarakat untuk menanyakan, informasi apa saja yang kira-kira diperlukan dari Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. “Jangan terlalu percaya diri dan mengatakan bahwa data sudah lengkap, nanti bisa terjebat,” sergahnya.
Terkait dengan sanksi, Suprawoto mengakui bahwa hal itu dimungkinkan. Namun pejabat tak perlu merisaukannya. (HUMAS MENPAN-RB)