M. Yusuf Ateh sedang tunjuk tangan untuk mengajukan pertanyaan dalam acara Forkompanda di Yogyakarta, Kamis (15/10)
YOGYAKARTA – Hingga saat ini masih ada instansi pemerintah daerah yang belum mencanangkan pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas dari korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bersih melayani (WBBM). Kendati demikian, penerapan ZI itu sebenarnya tidak selalu harus dimulai dari pencanangan terlebih dahulu, karena hal itu lebih bersifat formalitas, yang bisa dilakukan nanti.
Deputi Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan (RB Kunwas) Kementerian PANRB M. Yusuf Ateh mengatakan, yang sangat penting adalah pembangunan pemerintahan itu sendiri. "Pencanangan ZI lebih bersifat formalitas, dan lebih sebagai penyemangat," tegas Ateh pada acara Forum Komunikasi Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (FORKOMPANDA) yang diselenggarakan di Yogyakarta, Kamis (15/10).
Diungkapkan, FORKOMPANDA merupakan forum untuk memberikan pemahaman tentang pembangunan zona integritas, mendorong penerapan zona integritas pada setiap PTSP serta mempersiapkan 57 pemerintah daerah menjadi role model pelaksanaan PTSP. Acara ini dihadiri juga oleh Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda, Kepala PTSP, Inspektur, Kepala biro/bagian organisasi dan tata laksana. "Kita ingin memberikan masukan bukan hanya sekedar penilaian," imbuhnya.
Dikatakan, ZI harus diterapkan juga di setiap Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), sebagai upaya mendorong peningkatan kualitas pelayanan, efisiensi biaya perizinan dan menurunkan tingkat penyimpangan (KKN) di unit pelayanan. Dengan demikian, kehadiran PTSP benar-benar dapat mendorong peningkatan arus investasi di daerah, mendorong citra positif pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha, baik dalam negeri maupun luar negeri. Langkah ini juga dimaksudkan untuk mendorong kompetisi yang sehat antar daerah dalam membangun PTSP yang baik.
Pembangunan ZI merupakan upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Dalam hal ini, lanjut Ateh, diperlukan peran pengawasan internal pemerintah yang optimal dan berkualitas. Melalui pengawasan internal dapat diketahui apakah suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan rencana, atau belum. “Apakah sudah melaksanakan sesuai kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan atau belum,” tutur Ateh menambahkan.
Selain untuk mendorong terwujudnya good governance, Yusuf Ateh mengatakan pengawasan internal atas penyelenggaraan pemerintahan juga diperlukan untuk mendorong terwujudnya clean governance dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, serta bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. "Pak Menteri menghimbau agar pemerintah provinsi segera menentukan kota atau kabupaten yang menjadi role model pemerintahan yang bersih supaya semua instansi bisa belajar ke daerah tersebut," ujarnya.
Dia menambahkan, saat ini Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman bisa menjadi panutan sebagai pemerintahan yang telah mewujudkan good government and clean governance. "tetapi ini bukan perbandingan, karena sudah pasti setiap daerah memiliki kelebihan yang bisa diunggulkan, akan tetapi bagaimana membangun pemerintahan yang baik dari yang baik-baik," tambahnya.
Dikatakan, agenda reformasi birokrasi nasional bukan hanya fokus terhadap evaluasi sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP), tetapi pada kinerjanya. "Salah satunya kita mendorong inovasi pelayanan publik di masing-masing instansi, supaya setiap instansi dapat memberikan pelayanan yang baik dan mendorong masyarakat agar berpartisipasi langsung dalam meningkatkan pelayanan publik", imbuhnya. (gin/HUMAS MENPANRB)