Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB Diah Natalisa saat membuka kegiatan Ngobrol Urusan Pelayanan Publik (Ngulik) dengan tema Penyiapan Pelayanan Percontohan Ramah Kaum Rentan Lingkup Pemerintah Daerah, Jumat (15/05).
JAKARTA - Unit pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah, harus menyediakan sarana dan prasarana (sarpras) bagi kelompok rentan. Penyediaan sarana dan prasarana bagi kelompok rentan juga diamanatkan dalam undang-undang No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik wajib memberikan layanan berkualitas bagi setiap pengguna layanan.
Salah satu asas penyelenggaraan pelayanan publik berkualitas adalah fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. “Kementerian PANRB melakukan evaluasi, pembinaan dan monitoring dan evaluasi Pelayanan Publik. Salah satu aspek yang dinilai dalam evaluasi unit penyelenggara pelayanan adalah ketersediaan sarana dan prasarana bagi kaum rentan berkebutuhan khusus,” ujar Deputi bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Diah Natalisa saat membuka kegiatan Ngobrol Urusan Pelayanan Publik (Ngulik) dengan tema Penyiapan Pelayanan Percontohan Ramah Kaum Rentan Lingkup Pemerintah Daerah, Jumat (15/05).
Dijelaskan, yang termasuk kelompok rentan adalah kaum difabel, lansia, anak-anak, serta wanita hamil dan ibu menyusui. Selain itu Diah juga menyampaikan bahwa berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan pada tiga tahun terakhir, upaya yang dilakukan oleh unit pelayanan untuk menyediakan sarpras bagi kaum berkebutuhan khusus belum optimal, khususnya pada unit pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Pemda didorong untuk berkolaborasi dengan instansi pusat untuk mempercepat terwujudnya visi pelayanan publik yang ramah terhadap kaum rentan berkebutuhan khusus. Beberapa kementerian dan lembaga yang terkait tersebut adalah Kementerian Hukum dan HAM, Mahkamah Agung, Kementerian PUPR, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Sosial, dimana pada prinsipnya memiliki pemikiran dan arah yang sama terhadap pemenuhan hak-hak kaum rentan meskipun dari perspektif yang berbeda-beda.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Kerja Sama HAM Ditjen HAM Kementerian Hukum dan HAM RI Bambang Iriana Djajaatmadja menjelaskan jika merujuk pada Permenkumham No.27/2018 tentang Penghargaan Pelayanan Publik Berbasis HAM Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemenkumham yang didorong meningkatkan kualitas layanan sesuai prinsip HAM yakni Lembaga Pemasyarakatan, Kantor Imigrasi, Rumah Tahanan, Balai Pemasyarakatan, serta Balai Harta Peninggalan. Dalam kaitan pelayanan publik, ada beberapa aspek HAM yaitu kepastian hukum, non-diskriminasi, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, dan persamaan hak.
Pendekatan berbasis HAM digagas atas dasar bahwa setiap manusia adalah pemegang hak asasi (human rights holder). Pendekatan berbasis hak asasi ini berlandaskan pada standar HAM internasional maupun pada konstitusi serta ketentuan-ketentuan hak asasi lainnya yang berlaku secara nasional dan harus selalu menjadi landasan dasar bagi setiap institusi yang melakukan pelayanan publik di dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. “Pendekatan berbasis HAM dapat menjadi upaya untuk mencegah terjadinya diskriminasi yang sering merugikan kelompok-kelompok tertentu, termasuk kelompok rentan,” jelas Bambang.
Tujuan pelayanan publik berbasis HAM adalah untuk memberikan acuan, motIvasi, dan penilaian terhadap kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh UPT untuk penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM. Untuk kriteria penilaian pelayanan publik berbasis HAM yaitu kepatuhan pejabat/pegawai pelaksana terhadap standar pelayanan minimum, ketersediaan petugas yang siaga, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri PUPR bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat Sudirman mengatakan bahwa sesuai UU No.8/2016 tentang Penyandang Disabilitas pada pasal 97 disebutkan bahwa salah satu infrastruktur yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas adalah bangunan gedung. Persyaratan kemudahan yang dimaksud meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.
Menurutnya, konsep desain dalam rancang bangun gedung dan fasilitas harus menerapkan desain universal. "Yaitu entitas desain menyeluruh dari produk, sampai desain terkait lingkungan yang bisa digunakan untuk semua orang termasuk difabel yang memberikan berbagai kemudahan, tanpa seseorang harus melakukan upaya adaptasi berlebihan atau membutuhkan desain secara khusus,” jelas Sudirman.
Kelengkapan sarpras yang wajib tersedia pada bangunan gedung fungsi pelayanan publik diantara pintu dimana pintu masuk/keluar utama bangunan gedung umum memiliki lebar efektif bukaan paling sedikit 90 cm dan memiliki lebar efektif bukaan paling sedikit 80 cm. Kemudian memiliki ram dengan kelandaian 600 atau perbandingan antara tinggi dan kemiringan 1:10, lebar efektif ram tidak boleh kurang dari 95 cm tanpa tepi pengaman dan 120 cm dengan tepi pengaman.
Selanjutnya, bangunan harus memiliki ruang ibadah yang ditempatkan menjadi satu dengan bangunan gedung atau secara khusus terpisah pada lokasi yang layak, suci, mudah dilihat dan dicapai dilengkapi dengan penunjuk arah. Memiliki ruang laktasi yang layak, bersih, nyaman, mudah dilihat, selanjutnya terdapat toilet dengan pintu toilet penyandang disabilitas yang dilengkapi dengan plat tendang di bagian bawah pintu untuk pengguna kursi roda dan penyandang disabilitas netra serta dilengkapi dengan engsel yang dapat menutup sendiri.
“Dan yang terakhir bangunan harus mempunyai ruang tunggu dengan kapasitas pelayanan besar perlu menyediakan paling sedikit 50 persen tempat duduk dan 50 persen area berdiri, serta menyediakan paling sedikit satu area tunggu khusus bagi pengguna kursi roda dengan ukuran paling sedikit 90 cm x 130 cm,” pungkasnya.
Terdapat beberapa unit pelayanan publik yang menjadi lokus pendampingan dalam penyediaan sarpras disabilitas Kementerian PANRB tahun ini, yaitu Mahkamah Agung (11 Pengadilan Negeri/Agama), Kementerian Hukum dan HAM (18 Kantor Imigrasi), pemda provinsi (11 Samsat, 11 RSUD, dan 11 DPMPTSP), pemda kabupaten/kota (14 RSUD, 10 Disdukcapil, dan 13 DPMPTSP), dan daerah wisata (1 daerah). (byu/HUMAS MENPANRB)