Wakil Presiden Boediono mengatakan, ada empat kata kunci dalam pelaksanaan reformasi birokrasi yang tengah dilaksanakan pemerintah dewasa ini. Keempat kata kunci itu adalah, pelaksanaannya terdesentralisasi, diperkenankannya masing-masing memilih titik tolak dan menentukan kecepatannya, harus ada koordinasi secara sentral, dan outcome oriented.
Demikian dikatakan Wapres ketika membuka kongres International Institute of Administration (IIAS) dan International Association of School and Institute of Administration (IASA) di Nusa Dua Bali, Rabu (14/7) petang. Kongres yang berlangsung 14-16 Juli ini diikuti oleh 541 peserta, yang merupakan delegasi dari 48 negara.
Lebih lanjut Wapres mengatakan, empat kata kunci itu merupakan isi pokok dari grand design (cetak biru) reformasi birokrasi, yang dalam beberapa tahun ke depan bisa dilihat hasilnya, karena reformasi birokrasi bukan merupakan pekerjaan yang bisa dilihat hasilnya secara instan, tetapi merupakan proses yang berkelanjutan.
Dijelaskan, yang dimaksud dengan pendekatan desentralisasi (decentralization approach) adalah, pemerintah akan mendesentralisasikan titik-titik reformasi pada masing-masing instansi, yakni kementerian, lembaga dan pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota. “Masing-masing mempunyai jadwal dan ukuran kinerja yang jelas. Masing-masing mempunyai unit kerja sebagai ujung tombak reformasi birokrasi di instansinya,” ujar Boediono.
Namun, tambahnya, rencana kerja masing-masing instansi itu direview dan harus mendapat persetujuan dari Tim Nasional Reformasi Birokrasi, yang diketuai oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Kata kunci kedua, didasarkan pada kenyataan bahwa birokrasi Indonesia memiliki kondisi kultural, geografis dan sebagainya yang berbeda satu sama lain, sehingga tidak mungkin satu blue print cocok untuk seluruh daerah dan instansi. Untuk itu masing-masing instansi dengan kondisinya yang berbeda-beda dapat memulai pelaksanaan reformasi birokrasi di instansinya. Dengan kondisi obyektif masing-masing instansi, dapat menentukan titik tolak dan kecepatan yang berbeda, tetapi pelaksanaannya harus optimal.
Kata kunci ketiga, adanya koordinasi secara sentral, sehingga Presiden melalui Keputusan Presiden menunjuk Wakil Presiden sebagai Ketua Tim Pengarah Reformasi Birokrasi. Selain Tim Pengarah, ada Tim Nasional reformasi Birokrasi, yang dipimpin oleh Menteri Negara PAN dan RB. “Semua action plan reformasi birokrasi akan direview, dan harus mendapat persetujuan dari Ketua Tim Nasional,” tambahnya.
Tidak kalah pentingnya, bahwa reformasi birokrasi harus berorientasi pada hasil (outcomes oriented), yang merupakan kata kunci keempat. Memang, ujar Boediono, proses itu penting, tapi yang lebih penting hasilnya. Dalam hal ini, beberapa indikator keberhasilan itu, harus bisa mengurangi penyimpangan/penyelewengan serta tindakan korupsi. Selain itu harus menunjukkan adanya perbaikan pelayanan umum (publik), adanya support pelayanan untuk menciptakan kebijakan yang baik, serta tercapainya penghematan anggaran.
Dalam kesempatan itu, Wapres menekankan bahwa pandangan yang mengatakan bahwa reformasi birokrasi itu sama dengan remunerasi adalah tidak tepat. “Yang benar, perbaikan remunerasi merupakan konsekuensi logis dari perbaikan kinerja birokrasi yang dilaksanakan melalui reformasi birokrasi,” ujarnya.
Menteri Negara PAN dan Reformasi Birokrasi, E.E. Mangindaan mengatakan, indikator-indikator dalam penilaian reformasi diutamakan pada poin-poin yang lebih konkret. Misalnya apakah instansi itu sudah memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK, apakah reward and punishment-nya sudah berjalan bagus atau belum. “Untuk daerah, apakah kemiskinan di daerah mengalami penurunan atau tidak, adakah lapangan kerja yang terbuka, bagaimana APBD-nya,” ujarnya.
Filling the glass, full
Ketika menjadi pembicara kunci dalam kongres International Institute of Administration (IIAS) dan International Association of School and Institute of Administration (IASA), Kamis (15/7), Meneg PAN dan RB mengatakan bahwa dalam sepuluh tahun perjalanan reformasi di Indonesia, administrasi negara juga banyak mengalami perubahan yang signifikan.
Setelah lebih dari satu dekade reformasi nasional administrasi negara Republik Indonesia, bangsa Indonesia dan masyarakat global mengakui bahwa Indonesia telah mampu keluar dari krisis dan mampu bangkit membangun tata kepemerintahan yang baik guna mencapai tujuan pembangunan jangka panjang nasional, yaitu masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur pada tahun 2025. Ditambahkan, saat ini, pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia memang masih di tengah jalan dan perlu kerja keras menuju ke sana, sebagaimana Bank Dunia sebut bahwa tahun 2009 dan seterusnya “Indonesia still a glass half-empty”.
Hal itu merupakan pengakuan yang jujur dari masyarakat global bahwa Indonesia dalam dekade terakhir sesungguhnya telah berprestasi membangun kembali negara yang terpuruk karena krisis tahun 1997/98, bahkan mampu bertahan dan bahkan berkinerja sangat baik di tengah-tengah gelombang krisis ekonomi keuangan global tahun 2008/09 yang lalu. “Namun demikian, aparatur birokrasi pemerintahan, tidak boleh terlena oleh keberhasilan yang telah dicapai. Bahkan harus memulai agenda baru reformasi nasional dan khususnya reformasi birokrasi untuk mengisi seluruh gelas pembangunan nasional secara utuh, “Filling the Glass, Full”.
Diungkapkan juga, pemerintah begitu giat melakukan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, pemberantasan mafia hukum telah menjadi agenda prioritas yang dilaksanakan secara konsekuen sejak berlakunya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009, dengan diberlakukannya Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK).
Efektifitas kebijakan tersebut, tercermin dari terungkapnya berbagai kasus korupsi besar dan kasus mafia hukum sebagaimana diberitakan media massa dewasa ini. “Kondisi tersebut menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bukan semakin besar dan meluas, akan tetapi menunjukkan bahwa instrumen penegakan hukum di Indonesia dewasa ini telah bekerja dan mampu menguak berbagai bentuk kasus korupsi di tanah air, yang dalam era pemerintahan sebelumnya tidak mampu terungkapkan,” ujar Mangindaan.
Sementara itu, dalam rangka peningkatan efektifitas pelaksanaan pemerintahan oleh aparatur birokrasi, Kementerian PAN dan RB bersama-sama seluruh unsur kementerian dan pemerintahan daerah, telah melakukan berbagai kebijakan reformasi birokrasi. Adapun arah kebijakan ini adalah untuk melakukan perubahan dalam sistem manajemen pemerintahan dan perubahan dalam pola pikir (mind-set) serta budaya kerja (cultural-set) aparatur birokrasi pemerintahan.
Terwujudnya Grand Design dan Road Map Reformasi Birokrasi merupakan sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tatakelola pemerintahan Indonesia, yang antara lain mencakup perubahan-perubahan pada aspek organisasi, tatalaksana, sumberdaya manusia aparatur, peraturan perundang-undangan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, sampai dengan perubahan budaya kerja aparatur (culture-set dan mind-set).
Menteri sangat mengharapkan, kongres ini dapat memberikan kontribusi pemikiran yang kritis dan membangun bagi arah kebijakan nasional reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan Good Governance and Clean Government di Indonesia. “Saya yakin, dengan berkumpulnya para pakar ilmu administrasi negara dari berbagai negara di Bali ini, juga akan memberikan kontribusi berupa kesamaan dan kesepakatan cara pandang, bagaimana membangun kesejahteraan masyarakat melalui perwujudan Good Governance di seluruh dunia, khususnya melalui berbagai kiat reformasi di bidang administrasi pemerintahan,” ujarnya.
Menurut Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Asmawi Rewansyah, selaku panitia pelaksana kongres, dalam rangkaian acara tersebut para peserta juga melakukan kunjungan ke sejumlah obyek wisata di Bali. Kongres tersebut ditutup secara resmi oleh Menteri Negara PAN dan RB, E.E. Mangindaan, Jumat petang. (HUMAS MENPAN-RB)