Pin It

 TTG 7141

 

KAB. BANDUNG - Setiap anak tidak pernah meminta dilahirkan. Setiap anak juga tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orangtuanya. Karena itulah para orangtua selayaknya menganggap anak sebagai anugerah dan titipan yang harus dijaga dari kerusakan zaman, bukan sebagai beban apalagi sumber masalah. Orangtua harus meluruskan persepsi tentang nilai seorang anak, memperbaiki gaya berkomunikasi dan cara berinteraksi dengan anak. Selain itu, orangtua juga harus kompak menjaga pola pengasuhan yang baik, serta lebih banyak mendengar keluhan anak sehingga tumbuh kembang anak dapat optimal dan berkarakter emas.

Namun bagaimana bila anak terlanjur khilaf dan melakukan kesalahan, seperti terlibat narkoba atau pergaulan bebas? Demgan tegas Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat Netty Heryawan menjawab, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Sangatlah manusiawi jika seseorang melakukan kesalahan. Namun tidak tepat jika lantas orang yang berbuat salah diperlakukan seperti sampah masyarakat.

"Orang berbuat salah itu manusiawi. Jangan perlakukan anak sebagai sampah hanya karena telah melakukan kesalahan," pungkas Netty saat menjadi narasumber dalam acara Forum Silaturahim Majelis Taklim (FORSIL MT), dengan tema 'Mempersiapkan Generasi Terbaik di Akhir Zaman', di Gedung Fathul Khoir Jl Raya Timur No 288 Cicalengka, Kab. Bandung, Sabtu (03/06/2017).

Netty mengungkapkan, orangtua justru harus bersikap supportif. Dengan dukungan dari orang-orang terdekatnya, anak akan cenderung berani untuk berubah dan memulai kehidupan yang lebih baik. Orangtua juga harus mulai merancang sebuah regulasi untuk menangani kasusnya, sehingga permasalahan anak dapat diurai sekaligus merubah karakternya. "Kita harus menunjukkan bahwa kita selalu ada untuk mereka. Kita harus tunjukkan dukungan bahwa kesalahan bukan sesuatu yang final dan tidak bisa diperbaiki." papar Netty.

"Lakukan kesepakatan sesuai dengan kasusnya, bahwa kesalahan tidak boleh diulang dan anak harus lakukan banyak kebaikan." lanjutnya.

Lalu bagaimana dengan orangtua yang memasukkan anaknya ke pesantren-pesantren? Netty beranggapan, tindakan orangtua memutuskan untuk memasukkan anak ke pesantren tanpa mengindahkan pendapak si anak merupakan diskriminasi orangtua kepada anak. Seharusnya, kata Netty, orangtua membuka ruang dialog, memberikan penjelasan pada anak mengenai perbandingan sekolah umum dan pesantren, memberikan kesempatan pada anak untuk memilih berdasarkan kesadarannya sendiri dimana ia akan menimba ilmu.

"Jika orangtua ingin melempar tanggung jawab pendidikan dengan memasukkan anak ke pesantren​, itu namanya orangtua bayar. Ingin anaknya pintar, tapi tidak mau terlibat mendidik anaknya," tukas Netty.

"Mendidik anak tidak bisa mendadak. Persiapkan pendidikan anak-anak kita sejak awal. Dengan demikian ibu-ibu akan mampu menjadi rahim peradaban yang melahirkan calon-calon pemimpin masa depan." tutupnya. (HUMAS JABAR)