Pin It

 

Jam enam pagi, matahari masih enggan menampakkan dirinya di sebuah kota Kecamatan Salak, Ibukota Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Udara sejuk alami yang jarang didapat di Jakarta, sangat terasa. Aktivitas warga juga belum terlihat ramai di jalanan. Hanya sesekali tampak becak motor (bentor) ataupun sepeda motor (kereta) yang menyeringai sunyinya pagi di awal April 2013. Geliat kehidupan mulai terasa saat jarum jam di satu-satunya hotel yang ada di Salak menunjukkan angka 8.

gambir

Sejauh mata memandang dari teras hotel, tampak bukit-bukit yang masih diselumuti kabut. Kota Salak memang dikelilingi oleh perbukitan, yang menyimpan berbagai kekayaan alam, mulai dari kopi, nilam, jeruk, pohon gambir, hingga pohon kemenyan. Protes kecil sempat mengganggu pikiran, dan mendorong hasrat untuk mencari tahu kebenaran, apakah gambir dan kemenyan merupakan tanaman. Pasalnya, bagi kalangan awam, kedua komoditi itu seperti benda mati, layaknya seperti batuan, bukan berasal dari benda hidup seperti pohon.

Beruntung, penulis mendapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu petani gambir, dan menyaksikan langsung proses pembuatan gambir. Sayangnya, karena terbatasnya waktu, kami tak sempat mengunjungi atau memotret pohon kemenyan, yang umumnya tumbuh dan berkembang di hutan-hutan lindung. Selain cukup memakan waktu, lokasinya juga agak sulit dijangkau. Padahal, kemenyan dari Pakpak Bharat itu mendapat tempat yang cukup istimewa, dan disebut dengan kemenyan putih, yang harumnya sangat khas.

Lain halnya dengan gambir, yang arealnya cukup menyebar. Tak jauh dari Salak, namun karena jalannya menyusuri bukit dan lembah, perlu waktu sekitar 20 menit. Itu pun bukan jalan yang mulus, karena sebagian belum diaspal, batu-batu bertebaran, berkelok-kelok, banyak tanjakan terjal dan turunan yang cukup curam. Hal itu ternyata memang ciri khas wilayah Kabupaten Pakpak Bharat, yang hampir seluruhnya terdiri dari bukit dan lembah.

Kabupaten seluas 121.830 ha ini berketinggian antara 250 – 1.400 meter DPL, dengan curah hujan 4.044 mm per tahun. Daerah yang berpenduduk 46.600 jiwa ini dikelilingi dan berbatasan dengan oleh 6 kabupaten (Dairi, Samosir, Aceh Singkil, Dairi, Humbahas, Tapanuli Tengah, dan Kota Subulussalam).

Sekitar pukul 14.30 pada hari Selasa tanggal 2 April 2013, kami dipertemukan dengan Kasdin Berutu, seorang petani gambir yang telah bertani gambir lebih dari 10 tahun. Awalnya tidak percaya, saat diberitahu bahwa yang tampak di pinggir jalan itu pohon gambir. Pohonnya perdu, tingginya sekitar satu setengah meter, batangnya tidak besar, daunnya agak mirip daun murbei tapi lebih keras.

Seorang yang mau bertani gambir, cukup menanam sekali, dan setelah tiga bulan sudah bisa dipanen. Tak perlu menanam lagi, tak perlu disemprot pestisida, tak perlu pupuk buatan, pohon gambir dapat dipanen setiap hari, secara bergiliran atau memutar.

Awalnya Pahit, Akhirnya Manis

Ketika tiba di salah satu kebun milik Kasdin Berutu, penulis memetik daun yang masih muda, kemudian mencoba mengunyah. Pahit, seperti daun jambu biji. Beberapa kali dikunyah, langsung buang. Anehnya, tak lama setelah itu, sekitar 10 menit mulut ini terasa manis.

Setiap hari Kasdin selalu bercengkerama dengan pohon gambir, dan membangun sebuah gubug sebagai tempat berteduh dan mengolah daun gambir. Pagi- pagi datang dari rumahnya, dengan membawa keranjang besar dan masuk ke kebun gambir untuk memangkas ranting-rantging pohon gambir yang warnanya sudah hijau tua, pertanda sudah siap diolah. Dengan mengenakan sarung tangan, dan gunting tangannya lincah memotong ranting-ranting dan memasukkannya ke keranjang. Bajunya penuh dengan warna merah, warna gambir yang tidak hilang meski dicuci dengan pemutih sekalipun.

Setelah penuh, keranjang itu dibawa ke teras gubug, kemudian dia balik lagi ke kebun untuk melakukan hal yang sama. Namun di gubug, dia juga telah menyiapkan perapian, dan memasak air di dandang besar setinggi sekitar satu meter. Sambil menunggu air mendidih, laki-laki paruh baya itu memilin, mengurut ranting-ranting pohon gambir dari arah yang berlawanan untuk memisahkan daun dari tangkainya . Daun-daun itu selanjutnya dimasukkan ke dalam panci besar (dandang), setelah airnya mendidih.

Sekitar satu jam, daun-daun itu diangkat dan dimasukkan ke dalam karung, kemudian dipress. “Airnya tidak dibuang, tetapi ditampung kemudian disatukan dengan air yang ada di dandang,” ujar Kasdin.

Selanjutnya air itu dituangkan ke dalam bak/ember berukuran sekitar 5 liter, dan ditunggu sampai dingin. Satu dandang biasanya menjadi 9 ember kecil. Setelah dingin, air daun gambir itu mengental, kemudian dibuatlah dalam bentuk bulatan-bulatan, seukuran bola tenis. Bulatan-bulatan itu dijemur. “Tetapi tidak langsung di terik matahari, harus di bawah plastik transparan seperti ini,” tuturnya sembari menunjuk gambir yang tengah dijemur di bawah lindungan plastik.

Sejak dari pemetikan daun sampai siap jual, diperlukan waktu 7 hari. Seminggu sekali datang pengepul untuk membeli gambir tersebut, dengan harga sara-rata Rp 1.200 – 1.400 per butir. Kalau bekerja sendiri, Dasnin bisa menghasilkan Rp 2,5 – 4 juta per bulan. “Kalau dibantu isteri dan anak, penghasilan kami bisa lebih,” ujar Dasnin menambahkan.

Enaknya, keluarga petani gambir bisa mengatur irama, saat membutuhkan uang banyak dia bisa menggenjot produksi, tetapi kalau kebutuhannya normal produksinya secukupnya, sekaligus untuk menahan agar harganya stabil.

Hal itu sempat dilakoni oleh Kasdin, demi mencukupi biaya anak pertama dan keduanya yang masih kuliah di Akademi Kebidanan dan Politeknik Medan beberapa waktu lalu. “Puji Tuhan, dua anak saya sekarang sudah lulus kuliah dan bekerja, sedangkan anak ketiga masih SMK, dan anak keempat masih SMP,” tuturnya.

Optimalkan Gambir, Bentuk BUMD

Kasdin Berutu tidak sendiri di areal itu. Ada puluhan keluarga yang menggantungkan hidupnya dari bergambir ria. Namun sebenarnya di kawasan itu hanya sekitar 60 persen penduduk yang sehari-hari menggeluti gambir. Di kecamatan lain, ada yang seluruh penduduknya mengandalkan gambir. Gambir memang belum sepenuhnya menjadi mata pencaharian rakyat Pakpak Bharat, ada yang menamam kopi, nilam, jeruk, buah- buahan dan lain-lain.

Namun gambir dinilai bisa menjadi salah satu andalan pencaharian rakyat Pakpak Bharat. Hornop misalnya, mengaku bisa bangkit kembali lantaran menekuni gambir. Dia mengisahkan, pernah mengalami kesedihan yang sangat mendalam, lantaran gagal dalam pemilihan Kepala Desa. Buntutnya, hampir semua hartanya ludes, dan masih memiliki hutang puluhan juta rupiah. Padahal, anaknya yang masih kuliah memerlukan biaya yang cukup besar.

Hornop mengaku hampir patah arang. Tapi melihat semangat anaknya untuk menyelesaikan kuliah, dan selalu berdoa, akhirnya Hornop memutuskan untuk kembali ke kebun dan menekuni gambir, saat belum banyak orang yang terjun ke sana. Dengan lahan seluas 1 hektare, Hornop bekerja siang malam, untuk bisa menghasilkan dua kali pekerjaan normal. “Akhirnya hutang dapat terbayar lunas, dan anak saya bisa lulus kuliah, dan sekarang sudah menjadi PNS,” ujarnya.

Kendati demikian, hal itu tidak lantas membuatnya puas. Salah satu puteranya yang sempat merantau ke Jakarta pun disuruhnya pulang, untuk mengelola kebun gambirnya. Benar saja, anak tersebut berhasil, sementara Hornop memilih untuk menjadi pengepul, dan seminggu sekali menjual gambir ke Kabanjae. “Saya berusaha jujur kepada para petani. Saya ambil untung Rp50 per butir,” tuturnya. Dari pekerjaannya itu, Hornop meraih penghasilan tak kurang dari Rp 2,5 juta per bulan.

Tetapi Hornop mengaku belum puas, karena masih sering melihat kenyataan di lapangan bahwa harga masih sering dimainkan oleh para tengkulak. “Saya minta kepada Pak Bupati agar pemerintah turun tangan menangani masalah ini, agar petani gambir di Pakpak Bharat bisa lebih sejahtera,” ujarnya.

Apa yang diharapkan Hornop dan kalangan petani gambir, tampaknya setali tiga uang dengan yang dipikirkan oleh Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu. Menurutnya, pemerintah hadir di setiap denyut nadi kehidupan masyarakat. Karena mayoritas penduduk adalah petani, maka Pemkab Pakpak Bharat menaruh perhatian besar ke sector ini, dan berusaha memberikan motivasi agar usaha pertanian masyarakat lebih bergairah.

Bentuk pelayanan itu antara lain dengan menempatkan satu penyuluh untuk satu Desa, memberikan bantuan bibit gambir, bantuan permodalan, serta mengupayakan agar harga komoditi pertanian tidak dipermainkan tengkulak. “Kami membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk menangani gambir. Saat ini BUMD itu mengelola 100 ha lahan gambir, sedangkan kebun yang dikelola masyarakat lebih dari 1.200 ha,” ujarnya.

Menurut Remigo, gambir produksi Pakpak Bharat memiliki kualitas yang sangat baik, dan diminati India. “Kami ingin mengoptimalkan pengelolaan gambir sebagai salah satu komoditas unggulan untuk mensejahterakan rakyat Pakpak Bharat. Kehadiran BUMD gambir merupakan salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam meningkakan kesejahteraan petani,” tambah Bupati. (ags/HUMAS MENPANRB)


Cetak   E-mail