Pin It

oleh: Dr. Ardan Adiperdana, Ak, MBA

I.  PENDAHULUAN

     Cita-cita bersama bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan konstitusi adalah memakmurkan atau mensejahterakan rakyatnya. Segala daya upaya dilakukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Pemerintah dari waktu ke waktu terus melakukan reformasi di segala bidang, salah satu bidang yang diyakini akan berpengaruh kepada bidang yang lain adalah reformasi birokrasi. Birokrasi yang efektif, efisien, tanggap, cekatan, dengan pelaku (birokrat) yang profesional dan berintegritas akan menciptakan pemerintahan yang baik (berwibawa) dan bersih dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Pemerintahan yang demikian akan memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Pelayanan publik yang memuaskan dalam hal perizinan misalnya, akan membuka pintu investasi, mempermudah terbukanya lapangan kerja yang pada akhirnya membantu pertumbuhan ekonomi dan dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

     Namun demikian bukan rahasia lagi apabila birokrasi yang dijalankan oleh Aparatur Birokrasi pemerintahan saat ini masih banyak kelemahan. Belum semua pelayanan publik diberikan dengan optimal. Masih banyak kita dengar pungutan di sana sini, pengurusan ijin atau administrasi lain di birokrasi kita yang masih lamban, rumit dan complicated serta masih maraknya perilaku korup pada birokrasi kita sebagaimana diungkap media massa. Kesemua hal tersebut menjadi tantangan kita.

     Terlepas dari capaian Reformasi Birokrasi dalam beberapa tahun terakhir yang sudah bisa meletakkan landasan peta jalan dalam perbaikan birokrasi ke depan, kenyataannya masih banyak yang perlu kita perbaiki. Perlunya perbaikan tersebut setidaknya tergambar dari hasil berbagai survei lembaga internasional. Menurut data Transparancy Internasional Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih jauh dibanding dengan negara-negara terbersih seperti Denmark, New Zealand, Finlandia, Swedia, Norwegia dan Singapura. Meskipun skor IPK terus membaik, namun perkembangan IPK relatif lamban dibanding negara Asia lainnya. Selain kalah dengan Singapura, skor kita juga masih kalah dengan Taiwan, Malaysia, Philipina, dan Thailand. Pada tahun 2014 skor IPK kita meningkat menjadi 34 dibandingkan dengan tahun sebelumnya 32. Berdasarkan survei tersebut TII menyimpulkan tingginya harapan masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi, turunnya praktik suap, efektifnya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun demikian, sampai dengan saat ini sektor dan aktor yang terlibat korupsi di Indonesia masih belum banyak berubah (http://www.ti.or.id/index.php/publication/category/research).

     Hasil survei TII di atas merupakan salah satu cara termudah untuk mengukur keberhasilan dan dampak implementasi reformasi birokrasi selama ini. Data masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia yang hampir semuanya melibatkan aparatur negara (ASN) menunjukkan bahwa masih banyak aspek dalam reformasi birokrasi yang harus kita perbaiki khususnya mengenai tata kelola kelembagaan, pola pikir (mind set) dan budaya kerja birokrasi (culture set).

     Pegawai yang profesional dan berintegritas hanya dapat dibentuk melalui Reformasi Birokrasi. Pembahasan tentang reformasi birokrasi hanya mungkin melahirkan perubahan bila menyentuh dimensi mendasar, yaitu perubahan paradigma baik tentang ideologi maupun nilai-nilai. Revolusi mental sebagaimana diusung Presiden Joko Widodo harus dipahami dan ditempatkan dalam konteks tersebut. Perubahan mendasar yang mencakup tata nilai, ciri, gerak-gerik, dan seluruh tindakan harus diarahkan sedemikian rupa untuk memastikan cita-cita hidup bersama menjadi mungkin terlaksana. (Yustinus Prastowo, 2014)

     Menurut R Siti Zuhro, perubahan birokrasi di Indonesia bukannya tidak ada, namun bergerak lamban. Masalah reformasi birokrasi bukan sekadar perubahan struktur dan reposisi birokrasi, melainkan mencakup perubahan sistem politik dan hukum secara menyeluruh, perubahan sikap mental dan budaya birokrat dan masyarakat, serta perubahan mindset, komitmen pemerintah dan partai politik. Pemisahan antara jabatan karir dan politik, baik di birokrasi pusat maupun daerah, merupakan sebuah keniscayaan. Dilihat dari faktor organisasi dan manajemen, tantangan birokrasi Indonesia mencakup aspek struktur, proses, kepegawaian, dan hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Organisasi pemerintah seringkali tidak memiliki keseimbangan antara tugas, wewenang, dan tanggung jawab. Dalam hal struktur, misalnya, organisasi pelayanan publik masih bersifat hierarkis sentralistis (R. Siti Zuhro, 2014).

     RPJMN 2015-2019 merumuskan sembilan agenda prioritas yang disebut NAWA CITA. Butir ke delapan dari Nawa Cita adalah Melakukan Revolusi Karakter Bangsa. Dalam rangka melakukan revolusi karakter bangsa, tantangan yang dihadapi adalah menjadikan proses pendidikan sebagai sarana pembentukan watak dan kepribadian siswa yang matang dengan internalisasi dan pengintegrasian pendidikan karakter dalam kurikulum, sistem pembelajaran dan sistem penilaian dalam pendidikan. Tantangan utama yang dihadapi dalam rangka memperkukuh karakter dan jatidiri bangsa adalah meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengadopsi budaya global yang positif dan produktif serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya bahasa, adat, tradisi, dan nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat positif sebagai perekat persatuan bangsa.

     Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi menekankan pentingnya Revolusi Mental. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi diartikan sebagai perubahan yang cukup mendasar di suatu bidang, sedangkan mental merupakan suatu hal yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia yang bukan bersifat badan atau tenaga. Revolusi mental secara sederhana dapat kita artikan sebagai mengembalikan warga Indonesia kepada karakter asli bangsa: mandiri, gotong-royong, semangat melayani masyarakat, jujur, santun, berbudi pekerti, dan ramah. Karakter yang seharusnya dapat menjadi modal untuk membawa rakyat sejahtera. Pergeseran karakter baik kepada karakter yang menyimpang seperti indisiplin, malas, tidak jujur sampai dengan perilaku korup harus dirubah melalui sebuah revolusi mental, merubah paradigma lama sebagai birokrasi yang dilayani atau birokrasi penguasa menjadi birokrasi yang melayani rakyatnya.

     Untuk mewujudkan hal tersebut perubahan mindset, culture set dan struktur kelembagaan harus dilaksanakan secara radikal dan menyeluruh yang pada akhirnya terwujud tata kelola pemerintahan Indonesia yang berkelas dunia. Pada titik inilah hakikat dan pentingnya Reformasi Birokrasi. Tulisan ini akan membahas karakteristik pemerintahan berkelas dunia yang dapat dijadikan sebagai benchmarking pengembangan pemerintahan di Indonesia sekaligus langkah-langkah bagaimana perubahan ke arah pemerintahan berkelas dunia dapat terwujud melalui perubahan mindset, budaya dan struktur kelembagaan.

II. Pemerintahan Berkelas Dunia

     Pelaksanaan pemerintahan setiap negara berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintahan yang dianut oleh setiap negara termasuk Indonesia. Pada umumnya pemerintahan di negara maju lebih baik dari pada pemerintahan di negara berkembang. Pada negara maju, pemerintahan akan menjadi sangat terspesialisasi pada setiap tingkatan/level. Hal ini merupakan cerminan dari beragamnya aktivitas pemerintah serta kemampuan teknis yang diperlukan untuk mengimplementasikan berbagai program pembangunan pada masyarakat yang lebih modern. Pemerintahan negara maju menunjukkan sebuah tingkat profesionalisme yang tinggi, baik untuk mengidentifikasi maupun melayani berbagai kebutuhan masyarakat.

     Mengingat sistem politik di negara maju secara keseluruhan sudah stabil dan matang, serta pemerintahan sudah sangat berkembang, maka peran pemerintahan pada proses-proses politik sudah jelas dan teratur dan berada di bawah control yang efektif dari lembaga-lembaga politik yang secara fungsional menangani hal tersebut.

Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang menjalankan fungsi dan tujuannya dengan baik tanpa penyelewengan. Menurut Roskin et al. (2012), terdapat 5 hal yang dapat menggambarkan pemerintahan yang ideal, yaitu:

  1. Mengutamakan sifat pendekatan tugas pada pengayoman dan pelayanan masyarakat dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan;
  2. Organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efisien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat);
  3. Sistem dan prosedur kerja lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya, dan ketepatan waktu;
  4. Sebagai fasilitator pelayan publik;
  5. Strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel, dan responsif.

     Istilah world-class (berkelas dunia) menurut Cambridge Dictionary diartikan sebagai seseorang atau sesuatu yang terbaik didalam jenis/kelompoknya di dunia. Pengakuan terbaik ini merujuk pada  penetapan standar yang berkualitas dalam hal rancangan, kinerja, kualitas, kepuasan pelanggan, dan nilai ketika dibandingkan dengan seluruh hal yang sama yang berasal dari manapun di dunia (Business Dictionary). Oleh karena itu, pemerintahan berkelas dunia dapat dipahami sebagai pemerintahan yang memiliki kualitas terbaik diantara negara-negara di dunia.

     Kualitas terbaik dari suatu pemerintahan di suatu negara pada umumnya akan nampak dari tercapainya tujuan dari pemerintahan yang dapat dilihat dari beberapa indikator seperti kesejahteraan rakyat dan kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan pemerintah. Dalam mencapai tujuan tersebut pemerintahan didukung dan dijalankan oleh pemerintahan. Dengan demikian, kualitas pemerintahan berperan besar dalam menghasilkan pemerintahan yang berkualitas.

II.  1 Indikator Kinerja Pemerintahan Dalam Pelayanan Publik

     Untuk mengetahui kinerja pemerintahan diperlukan indikator pengukuran yang dapat menggambarkan kinerja pemerintahan yang terjadi. Menurut Dwiyanto (2010), beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja pemerintahan publik adalah produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas.

     Produktivitas mengandung makna keinginan dan upaya individu yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Kualitas layanan yang diterima masyarakat dari organisasi publik dapat menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik. Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Akuntabilitas publik menunjukkan pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks tersebut, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak.

     Kumorotomo (1996) dalam Pasolong (2011), menggunakan beberapa indikator kinerja untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja pemerintahan publik, yaitu efisiensi, efektivitas, keadilan, dan daya tanggap. Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Organisasi pelayanan publik dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuannya.   Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan. Kriteria keadilan terkait dengan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan dan dapat menjawab isu yang menyangkut pemerataan pembangunan dan pelayanan kepada kelompok marjinal. Daya tanggap  organisasi pelayanan publik merupakan bagian dari daya tanggap negara atau pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat yang mendesak.

II. 2 Pemerintahan di Negara Maju

     Chin et al. (2015) mengungkapkan bahwa transformasi pada sektor publik yang dilakukan oleh pemerintahan di beberapa negara maju didasari oleh dua hal utama yaitu konsolidasi fiskal atas terjadinya defisit anggaran dan/atau perbaikan dalam layanan publik.   Inggris, Swedia, Denmark, Australia, dan Israel  berhasil pulih dari defisit anggaran yang signifikan dan lepas dari kesulitan konsolidasi fiskal atau perbaikan dalam pemberian layanan publik pada 1900-an dan 2000-an.  Demikian pula, Amerika Serikat, Jerman, serta pemerintahan yang lebih kecil seperti Singapura, Estonia, dan Skotlandia, telah mengambil langkah-langkah besar untuk meningkatkan layanan publik dan manajemen pemerintahan pada masa krisis keuangan.

Pendekatan yang digunakan oleh negara-negara tersebut dalam melakukan perubahan pada masa ketatnya anggaran dapat diidentifikasi sebagai berikut:

  1. Mendesain ulang layanan publik untuk meningkatkan kualitas layanan dan efisiensi biaya secara radikal;

    Hal tersebut dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut: 

    -       Digitalisasi (komputerisasi) layanan, proses dan alur kerja untuk meningkatkan efisiensi biaya;

    -       Layanan dirancang untuk memberikan nilai berdasarkan kebutuhan masyarakat;

    -       Mengamankan hasil nilai yang lebih baik dari kontrak jasa pemerintah;

    -       Memperluas penggunaan sistem pembayaran berbasis outcome  untuk beberapa layanan;

  2. Menata kembali pendekatan pemerintah dalam mengelola keuangan publik, meliputi: penganggaran, investasi dan pendapatan serta  manajemen modal kerja. Penataan dilakukan dengan reviu penganggaran dan pengeluaran  berdasarkan efisiensi dan output, serta melakukan pendekatan bertahap yang dinamis untuk investasi dan alokasi modal di semua portofolio;
  3. Memperkuat kepemimpinan dan kemampuan fungsional antar pemerintah untuk mendukung pemberian layanan, meliputi peningkatan kemampuan komersial dan pengadaan, pembentukan layanan bersama, serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan kepemimpinan fungsional;
  4. Mengoptimalkan struktur, skala, dan model operasi pemerintah dengan melakukan re-evaluasi struktur pemerintah pusat, mengubah model operasi pemerintah untuk menyelaraskan dan menyederhanakan hubungan di dalam dan antar departemen dan pusat, serta menghilangkan duplikasi antara dan di dalam tingkat pemerintahan;
  5. Mengembangkan visi, akuntabilitas dan kemampuan yang dibutuhkan untuk menggerakkan transformasi dengan skala yang luas, yaitu:

    -       menentukan narasi yang jelas dan membangun dukungan untuk transformasi di sekitarnya;

    -      memastikan bahwa politisi senior dan pegawai negeri sipil  menjadi contoh program transformasi dan  bersama-sama bertanggung jawab untuk itu;

    -      menarik, mengembangkan, dan mempertahankan bakat dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mendorong transformasi.

II. 3 Digitalisasi layanan publik.

     Mendesain ulang layanan publik dengan digitalisasi merupakan hal yang sangat menonjol yang dilakukan oleh sebagian besar negara maju. Selain untuk mempermudah layanan, digitalisasi diharapkan juga memberikan penghematan biaya yang besar dalam proses pemberian layanan. 

     Inggris mengembangkan program The Government Digital Service (GDS) yang telah meluncurkan  25 jenis jasa yang didesain ulang, seperti  ‘Register to Vote’, yang penggunaannya lebih mudah, jelas, dan cepat.   Salah satu area digitalisasi yang berpotensi meningkatkan efisiensi biaya dan kualitas jasa layanan adalah layanan mandiri perbankan. Dengan penerapan digitalisasi dan peningkatan pemahaman masyarakat, pelanggan lebih memilih layanan mandiri, sehingga Bank memindahkan pelanggan dari kantor cabang dan jasa via telepon ke layanan on-line.

     Di  Austria, pemerintah secara bertahap telah mendigitalisasi sistem peradilan sejak akhir 1980 dengan fokus efisiensi biaya. Pada tahun 2011,  95% pendaftaran untuk tindakan publik dan 65% pendaftaran penegakan hukum diproses secara digital dan seluruh pengadilan telah terkomputerisasi. Kombinasi penghematan administrasi, biaya pos, dan biaya serta pendapatan lainnya dari pendaftaran  memungkinkan kementerian menutup lebih dari 70%  biaya dari pendapatan yang diterima. 

     Estonia mengadopsi sistem on-line sebagai saluran utama untuk hampir seluruh layanan pemerintah. Lebih dari 80% rakyat Estonia menggunakan  jalur on-line untuk mengakses jasa layanan pemerintah dan 94% SPT Pajak dikirimkan melalui on-line. Pemerintah Belanda berencana untuk menggunakan e-service sebagai jalur utama dan diperkirakan  dapat memotong 50% anggaran tenaga kerja dan dua pertiga pemotongan jumlah kantor pemerintah disebabkan tekanan dalam anggaran pemerintah.

     Pemerintah Singapura telah menciptakan “world-class e-government” yang memungkinkan masyarakat dilibatkan, diberdayakan, dan dijadikan sebagai pembuka jalan (Ha dan Coghill, 2011). Dengan e-government masyarakat Singapura memiliki kesempatan yang sama untuk dilibatkan dan melakukan akses ke e-services dan e-users, diberdayakan melalui pengetahuan dan keterampilan IT, melalui umpan balik secara on-line, diperlakukan sebagai pelanggan, dan dapat menentukan jalan dan waktunya sendiri untuk mengakses e-service. Pemerintah Singapura juga melakukan modernisasi melalui e-government (iGov2010 Masterplan) untuk meningkatkan pelayanan publik.

     Tahun 1995, pemerintah Singapura menginisiasi Public Service for the 21st Century (PS21) yang merupakan suatu gerakan perubahan untuk mendorong pegawai pemerintah melaksanakan perubahan pada pekerjaan sehari-hari dan memposisikan pegawai sektor publik sebagai ujung tombak pelayanan prima. Pergerakan dilakukan agar sektor publik menyiapkan diri terhadap tantangan yang dihadapi pada abad 21, yang meliputi kebutuhan standar layanan yang tinggi sesusai permintaan masyarakat dan persaingan ekonomi.

II. 4 Layanan berdasarkan Kebutuhan Publik

     Layanan yang disediakan dan dijalankan oleh pemerintah seringkali dirancang untuk memenuhi spesifikasi internal daripada kebutuhan masyarakat.  Mengalihkan bias yang telah berjalan lama mengharuskan pemerintah memahami preferensi masyarakat secara rinci. Studi yang dilkakukan McKinsey atas layanan yang disediakan pemerintah Amerika Serikat terhadap 17.000 orang dari 15 negara bagian menemukan masyarakat 2,5 kali akan tidak puas terhadap layanan pemerintah dibandingkan dengan layanan oleh sektor swasta. Tingkat kepuasan diukur dari kecepatan, proses, preferensi jalur, akses informasi, dan nilai uang. 

     Pada periode 2003-2006, Jerman melakukan reformasi pasar tenaga kerja yang dikenal dengan UU Hartz. Peraturan tersebut fokus pada reformasi Badan Tenaga Kerja Federal, yang mengelola 90.000 karyawan dan 179 badan tenaga kerja regional. Sebagai bagian dari reformasi, lembaga tersebut mereviu seluruh layanan untuk memahami lamanya layanan, biaya, dan nilai yang diberikan kepada pencari kerja, serta menghentikan layanan yang memberikan dampak kecil dan melakukan refocusing atas misi utama mengurangi masa menganggur bagi pencari kerja. Sebagai hasil reformasi, Badan tersebut mendapatkan surplus Euro16,7 juta pada 2008 setelah sebelumnya mengalami defisit Euro1 juta pada 2005.

     Pemahaman yang baik atas kebutuhan dan preferensi publik memungkinkan pemerintah mengoptimalkan jasa yang diberikan. Pemahaman atas tingkat penilaian masyarakat terhadap kecepatan dan biaya dari waktu layanan yang berbeda memungkinkan pemerintah merancang ulang layanan untuk meningkatkan kepuasan pengguna dalam anggaran yang tersedia

III. Perubahan Pola Pikir, Budaya dan Struktur Kelembagaan dalam Upaya Mewujudkan Birokrasi Kelas Dunia

     Menyimak apa yang sudah dilaksanakan oleh negara-negara maju dalam melakukan perubahan untuk mewujudkan pelayanan berkelas dunia tersebut, dapat ditarik benang merahnya, yang pada intinya komitmen, semangat dan kemauan yang kuat dan konsisten melaksanakan perubahan konkrit, terbukti dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik.

     Upaya mewujudkan pemerintahan berkelas dunia harus dilaksanakan secara komprehensif yaitu perubahan mindset (pola pikir), budaya dan struktur kelembagaan secara holistis. Apabila dinyatakan secara visual adalah sebagai berikut:

20160908 Kepala BPKP

     Revolusi mental sebagai jawaban untuk membentuk pemerintahan berkelas dunia harus dapat dimanifestasikan secara konkrit sehingga birokrasi yang Bersih, Kompeten, dan Melayani dapat terwujud dengan baik. Hal ini juga sejalan dengan konsep The New Public Service, yang menekankan pentingnya melayani daripada mengarahkan (Denhart, 2000).

III. 1 Perubahan Mindset (Pola Pikir)

     Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi dalam “Seminar Nasional Merekonstruksi Indonesia: Sebuah Perjalanan Menuju Dynamic Governance” Kamis, 19 Maret 2015, menyebutkan dalam situasi dan kondisi dunia yang dinamis dan tak menentu, tidak ada jaminan bahwa keberhasilan yang dicapai oleh suatu negara pada saat ini akan dapat terus bertahan. Hanya dengan mewujudkan pemerintahan berkelas dunia, kita akan mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih maju.

     Lebih lanjut Menpan-RB juga menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia adalah dengan memberikan pelayanan publik yang baik sehingga meraih kepercayaan penuh dari rakyat, dan jika rakyat memberikan kepercayaannya otomatis rakyat juga pasti mendukung segala sistem dan kebijakan pemerintah yang ada. Dengan ada dukungan dari rakyat, kondisi akan stabil dalam membangun negeri yang mempunyai nilai/tingkat jual tinggi di dunia.

     Sarwono Kusumaatmaja, mantan MenPAN periode 1983-1988 yang juga hadir dalam seminar itu mengatakan, hal fundamental dalam suksesnya suatu lembaga terletak pada kualitas pemimpin, yakni kualitas untuk berpikir ke depan dan antisipatif (think ahead), kemampuan mengkaji ulang hasil pemikiran (think again), dan kemampuan berpikir secara lateral, horizontal dan lintas disiplin (think across). Selain faktor pemerintah yang baik, kemajuan suatu bangsa ditentukan pula oleh pendidikan yang baik untuk masyarakat dan patriotisme atau kecintaan masyarakat terhadap bangsanya.

     Pemimpin yang terlebih dahulu mengubah mindset nya memiliki modal dasar yang kuat untuk melakukan perubahan mindset masyarakat. Salah satu contoh inspirasi perubahan mindset yang harus dilakukan adalah revolusi mental jaman Presiden Sukarno berupa Gerakan Hidup Baru yang dicanangkan pada tanggal 17 Agustus tahun 1957. Gerakan Hidup Baru merupakan perubahan mindset secara total untuk menumbuhkan nasionalisme dengan semangat berjuang yang isinya antara lain:

  1. Perombakan cara berfikir, cara kerja, cara hidup, yang merintangi kemajuan;
  2. Peningkatan dan pembangunan cara berfikir, cara kerja dan cara hidup yang baik

     Pada intinya Gerakan Hidup Baru adalah gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru yang berhati bersih, berkemauan baja, dan bersemangat tinggi. Dicatat dalam sejarah, Gerakan Hidup Baru ini mati secara perlahan karena kegagalan membentuk karakter bangsa yang kuat. Pada masa itu, Indonesia belum dapat berhasil keluar dari mental bangsa yang rendah diri, tidak mandiri, mengekor bangsa lain, dan sebagainya.

     Contoh lain adalah gerakan hidup bersih yang dipimpin oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok, yang mendorong perubahan mental mulai dari pimpinan Pemda DKI hingga sampai seluruh aparat birokrasi di level bawah untuk memberikan pelayanan terbaik di lingkungan Pemda DKI Jakarta.

     Perubahan mindset tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai luhur bangsa yang secara aklamasi sudah diterima masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu, yakni mental Pancasila. Kelima sila yang terdapat dalam Pancasila memiliki butir-butir yang menjadi landasan perubahan tersebut. Sebagai contoh butir sila ketiga persatuan Indonesia, memiliki butir-butir semangat kegotongroyongan, teamwork yang solid, saling melengkapi untuk menuju tujuan bersama. Banyaknya friksi dan perpecahan di beberapa daerah menunjukkan mental pancasila khususnya sila ketiga ini, belum terbangun secara kuat.

     Dengan demikian, mengacu pada pendapat para pakar, gerakan revolusi mental akan mengubah mentalitas sehingga menimbulkan perilaku baru. Perilaku baru yang terus diulang akan menjadi suatu kebiasaan, dan kebiasaan yang terus dipertahankan akan membentuk karakter (Pokja Revolusi Mental, 2014).

     Gerakan revolusi mental harus difokuskan pada nilai-nilai mentalitas inti agar revolusi mental menjadi gerakan yang mudah diingat, fokus dan tetap terjaga semangatnya. Ketiga nilai mentalitas inti yang merupakan intisari dari nilai-nilai Pancasila adalah kemandirian, gotong-royong, dan semangat pelayanan kepada masyarakat.

  1. Nilai kemandirian

         Bangsa ini sudah terlalu lama terjebak dalam sikap tidak mandiri, tergantung pada bangsa lain, suka meniru, dan sebagainya. Keseluruhan blok mental yang tidak mandiri tersebut membuat bangsa Indonesia kurang percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri. Contoh konkrit, ketidakmandirian bangsa terhadap import berbagai jenis produk yang semestinya kita justru penghasil produk tersebut (garam, beras, gandum, dan sebagainya) yang bahkan dapat menjadi negara eksportir. Sudah saatnya kita harus bahu membahu untuk menegakkan kemandirian dengan prinsip berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Lautan yang sangat luas harus kita optimalkan untuk memproduksi garam sehingga tidak perlu impor lagi. Jutaan hektar sawah dan ladang harus kita optimalkan untuk swasembada beras dan hasil perkebunan lainnya (kopi, kopra, sawit, dan sebagainya).

         Di bidang teknik, industri pesawat yang sempat mati suri harus kita berdayakan lagi dengan semangat perubahan mental kemandirian ini. Banyak anak bangsa yang memiliki kemampuan secara teknis tidak kalah dibandingkan dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia bisa kalau mau, termasuk industri pesawat, otomotif, kereta api pun kita bisa kembangkan dengan semangat kemandirian.

         Di bidang industri kreatif, seperti animasi film, berbagai karya seni dan industri kreatif lainnya, Indonesia juga memiliki reputasi internasional yang cukup diperhitungkan. Dengan perubahan ke arah mental kemandirian ini, maka pengembangan industri kreatif menjadi jati diri bagi bangsa ini untuk berkiprah di dunia internasional.
  2. Nilai gotong-royong

         Sebagaimana diberitakan di berbagai media massa, akhir-akhir ini banyak terjadi perpecahan yang berbahaya bagi sendi sendi kerukunan bangsa seperti kasus yang terjadi di Mesuji, Lampung, kasus perang antar suku di papua, dan berbagai tawuran yang seringkali merenggut nyawa. Hal tersebut terjadi karena nilai gotong royong, kerukunan dan kebersamaan mulai tergerus oleh perubahan jaman. Padahal sejak dulu, bangsa Indonesia terkenal dengan nilai-nilai kegotong-royongan dan saling membantu. Revolusi mental pada aspek ini hendaknya mampu menggerakkan kembali nilai-nilai kerukunan bangsa yang dilandasi dengan semangat gotong-royong.

         Contoh konkrit adalah kita harus mengembangkan kembali nilai gotong royong sejak dini seperti kerja bakti dan gugur gunung untuk bersama-sama membangun desa/wilayah dan kampung halamannya masing-masing.

         Satu hal yang menjadi peringatan bagi kita, tolong-menolong harus dalam bingkai positif untuk membangun negeri ini, sehingga bukan arti sebaliknya seperti tolong menolong dalam kejahatan dan tindak anarkis. Dalam konteks penerapan di lingkungan birokrasi, nilai gotong royong dapat dilakukan melalui koordinasi harmonis antar instansi dan menghilangkan ego sektoral. Aparat birokrasi pemerintahan harus merubah mindset menjadi, “bersama segala sesuatu dapat kita raih untuk kejayaan bangsa”.
  3. Nilai semangat pelayanan kepada masyarakat

         Sebenarnya makna aparat birokrasi pemerintahan adalah civil servant, yang artinya memang pelayan masyarakat. Kualitas pelayanan publik yang jauh dari harapan disebabkan oleh mentalitas aparat birokrasi pemerintahan yang justru senang dilayani, bukan melayani. Contoh proses perijinan yang lama dan berbelit-belit menunjukkan belum adanya semangat pelayanan kepada masyarakat.

         Salah satu tindakan konkrit yang perlu dilakukan supaya Reformasi Birokrasi berhasil adalah perlu melakukan perubahan karakter pegawai ASN agar memiliki nilai dan jiwa melayani masyarakat serta memiliki kompetensi yang diperlukan untuk membawa Indonesia memasuki globalisasi. Dalam konteks ini, revolusi mental yang digagas Jokowi-JK  menjadi sangat relevan. Simbol-simbol fisik atau non fisik, persepsi diri, sikap dan perilaku sebagai penguasa/amptenaar harus diubah menjadi sosok pelayan masyarakat.  Mindset, sikap dan perilaku sebagai penguasa inilah yang sering membuat para pegawai ASN terperangkap dalam perilaku korup. Para pegawai ASN juga harus dilengkapi perspektif multi cultural dan kecakapan mengelola keragaman, memiliki perspektif whole-of-government, cara memahami dan mencari solusi terhadap masalah berbasis pada pandangan yang koheren dari kepentingan pemerintah secara keseluruhan. Perspektif sektoral yang sempit, inward looking, dan penanaman loyalitas dan kepatuhan yang berlebihan pada atasan, tidak lagi relevan dengan kebutuhan untuk menyiapkan world-class civil service. (Dwiyanto, 2014).

         Revolusi mental dalam meningkatkan semangat pelayanan kepada masyarakat harus dibangun dengan semangat pendiri bangsa yang tercantum dalam UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

         Keseluruhan cita-cita pendiri bangsa tersebut hanya dapat terwujud jika mentalitas seluruh aparat birokrasi pemerintahan berubah menjadi semangat melayani kepada masyarakat tanpa memandang golongan dan bebas diskriminasi.

III. 2 Perubahan budaya

     Budaya dalam kerangka Reformasi Birokrasi memiliki peran yang penting dalam mendorong terwujudnya pemerintahan yang transparan, akuntabel dan berkualitas. Kalau kita mengibaratkan Negara sebagai sebuah organisasi, masyarakat sebagai anggota organisasi dan salah satu tujuan bersama adalah mewujudkan pemerintahan kelas dunia, maka salah satu faktor fundamental yang harus dibangun adalah perlunya pimpinan dan anggota mempunyai sense dan keyakinan yang sama (shared vision, values and belief) dalam melihat bagaimana visi organisasi kedepan. Dalam kaca mata Peter and Waterman Jr (1984, dalam Achmad Sobirin, 2002:2), tercapaianya tujuan organisasi ditentukan oleh kuat lemahnya budaya yang dimiliki organisasi tersebut.

     Secara umum, budaya memegang peranan penting dalam mengarahkan perilaku individu dalam organisasi yang kemudian mengikat dan memotivasi anggota organisasi dalam mencari jalan keluar ketika terjadi permasalahan organisasi. Dengan demikian, pada dasarnya budaya dapat berfungsi sebagai landasan nilai yang berguna bagi para pimpinan Kementerian/Lembaga/Pemda untuk mengarahkan kinerja birokrasi sekaligus mempertahankan nilai-nilai yang disepakati bersama oleh seluruh unsur birokrasi dalam pemerintahan.

     Budaya mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja dan motivasi para Pimpinan dan birokrasi pemerintahan untuk mencapai kinerja organisasi, yang merupakan salah satu tujuan reformasi birokrasi. O’Reilly (1991) menyatakan bahwa budaya berperan dalam mendorong individu untuk kreatif dalam meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan.      

     Dalam konteks perubahan budaya untuk mendukung revolusi mental maka nilai-nilai yang dilaksanakan secara terus menerus akan membentuk sebuah culture baru yaitu bangsa yang mandiri, bangsa yang suka bergotong royong, dan bangsa yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Sarlito bahwa Gerakan Revolusi Mental berangkat dari asumsi yang menyatakan perubahan mentalitas (pola pikir dan sikap kejiwaan) akan menimbulkan perubahan perilaku, perilaku yang terus diulang akan menjadi kebiasaan, sedangkan kebiasaan yang terus dipertahankan akan menjadi karakter.

     Perubahan budaya memerlukan komitmen kuat dari seluruh aparat birokrasi pemerintah. Gerakan Hidup Baru jaman Bung Karno kiranya menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa revolusi mental akan dapat menghasilkan perubahan budaya ketika dilaksanakan secara fokus dan dilaksanakan secara terus menerus.

III. 3 Perubahan struktur kelembagaan

     Menurut Prasojo dan Rudita (2014), pembangunan ekonomi tanpa disertai pembangunan kelembagaan administrasi/birokrasi merupakan hal yang sangat sulit diwujudkan. Ada tiga faktor utama sebagai penghambat investasi di Indonesia selama lima tahun terakhir, yaitu birokrasi yang tidak efisien, korupsi yang merajalela, dan pembangunan infrastruktur yang tidak mengalami perbaikan signifikan. Survey Global Competitiveness Index Bank Dunia, misalnya menunjukkan, kinerja pemerintahan (governance) cenderung tidak membaik sejak 2008 sampai 2012. Bahkan indikator efektifitas pemerintahan (government effectiveness) mengalami penurunan dari tahun 2008 ke 2012. Hal ini diperkuat oleh publikasi Indonesia Governance Index (IGI) 2012 yang menunjukkan kinerja tata kelola pemerintah secara nasional dari skala 10 hanya mencapai 5,70 dengan efektivitas birokrasi hanya mencapai 5,38.

     Walaupun peringkat doing bussiness Indonesia mengalami peningkatan dari peringkat 50 pada 2013 menjadi peringkat 38 pada 2014, namun berbagai faktor yang mempengaruhinya tidak mengalami perubahan. Efektivitas kontrol pemerintahan terhadap korupsi merupakan faktor kritis dan strategis yang akan menentukan pertumbuhan  ekonomi Indonesia pada 2030 yang diprediksi oleh berbagai lembaga akan menjadi negara terbesar ke tujuh (Prasojo dan Rudita,2014).

     Revolusi mental terkait aspek perubahan struktur kelembagaan adalah dalam konteks perubahan mindset dan budaya yang mendukung perubahan menuju mental kemandirian, mental gotong royong serta mental pelayanan kepada masyarakat.

     Struktur kelembagaan untuk meningkatkan kemandirian misalnya, Badan Ekonomi Kreatif sudah saatnya harus berbenah secara struktur untuk lebih mengakomodir karya  kreatif anak bangsa dengan sistem penghargaan yang memadai. Sebagai contoh, animasi kartun Upin Ipin yang ternyata pembuatnya adalah orang Indonesia yang mungkin kurang mendapat tempat di negeri sendiri. Hal semacam ini hendaknya tidak perlu terjadi lagi di masa yang datang. Secara struktur kelembagaan juga harus harus ada revolusi untuk mendukung perubahan ke arah mental mandiri dan budaya mandiri.

     Revolusi mental gotong royong untuk membentuk budaya gotong royong yang tahan lama harus didukung dengan perubahan struktur kelembagaan secara konkrit. Kiprah karang taruna dan organisasi pemuda yang pada era sebelumnya banyak menghasilkan karya positif dan bersatu padu, saat ini sudah luntur karena tidak adanya struktur kelembagaan yang mendukung.

     Dengan demikian, perubahan struktur kelembagaan untuk mendorong revolusi mental terkait aspek gotong royong adalah memberikan wadah atau sarana dan prasarana melalui perombakan struktur kelembagaan yang memberikan dukungan sepenuhnya. Sebagai contoh, perlunya struktur kelembagaan yang menampung remaja yang sarat dengan energi yang belum tersalurkan untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan mereka sebagai anak bangsa. Banyaknya tawuran di berbagai sudut kota dan bahkan di desa menunjukkan bahwa negara belum hadir dalam perjuangan mereka mencari jati diri.

     Revolusi mental untuk merubah mindset menjadi mentalitas melayani pun juga harus didukung dengan struktur kelembagaan yang mendukung. Sebagai contoh, bentuk kantor pelayanan satu pintu/satu atap yang sudah dikembangkan di berbagai daerah dapat dikembangkan untuk daerah lain. Dengan pelayanan yang terpadu ini, masyarakat akan menerima manfaat berupa proses perijinan yang cepat, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

     Semangat melayani tidak akan berubah menjadi sebuah budaya melayani jika tidak didukung dengan perubahan struktur kelembagaan sebagaimana contoh pelayanan terpadu tersebut.

     Dalam konteks pemerintahan, perubahan struktur kelembagaan seharusnya diarahkan untuk mendapatkan struktur organisasi yang tepat (rightsizing). Pemerintah harus berani melakukan tindakan kurang populer untuk menggabungkan beberapa organisasi yang memiliki fungsi yang sama/tumpang tindih dan jika diperlukan menghapus organisasi yang tidak memberikan nilai tambah bagi masyarakat/pemerintah.

     Selain itu, perubahan struktur kelembagaan juga mencakup perubahan piranti di dalamnya antara lain mekanisme/SOP pelayanan kepada publik yang semakin memfokuskan kepada masyarakat, perubahan sistem penilaian kinerja bagi aparat birokrasi yang mendorong pencapaian kinerja secara optimal. Sebagai contoh, perubahan penilaian kinerja pelayanan publik sebaiknya dikaitkan dengan remunerasi, artinya ketika pelayanan publik tidak dapat diberikan secara optimal, maka konsekuensi pengurangan remunerasi adalah dalam konteks untuk meningkatkan tanggung jawab aparat birokrasi pemerintahan. Dengan demikian, perubahan struktur kelembagaan sebagaimana diuraikan di atas, mampu mendorong perubahan mental aparat birokrasi menjadi mental semangat untuk melayani kepada masyarakat.

IV. Penutup

     Tantangan Pemerintah saat ini untuk memberikan pelayanan kepada publik dengan kualitas prima menuntut perubahan paradigma birokrasi pemerintahan. Namun pada kenyataannya, implementasi pola pikir, budaya kerja dan struktur kelembagaan sampai dengan saat ini masih belum mampu membawa birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani.

     Pemerintahan yang berkelas dunia, dengan kualitas pelayanan publik yang sangat prima, hanya dapat diwujudkan dengan sebuah revolusi mental. Revolusi mental harus dilaksanakan secara serentak dan menyeluruh untuk aspek perubahan mindset, budaya dan struktur kelembagaan yang mengerucut pada nilai-nilai mentalitas inti yaitu kemandirian, kegotongroyongan, dan semangat melayani.

     Revolusi mental harus difokuskan pada nilai mentalitas inti sebagaimana tersebut di atas adalah untuk efektivitas pelaksanaan revolusi mental tersebut agar selalu fokus dan tidak mudah terkikis oleh waktu. Implementasi revolusi mental secara terus menerus diyakini akan membentuk budaya bangsa yang berakar dengan kuat dengan filosofi kemandirian, gotong-royong, dan semangat melayani kepada masyarakat.

     Akhirnya, revolusi mental hanya berhasil apabila setiap insan birokrasi pemerintahan bersatu padu mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dengan memberikan karya nyata sesuai bidang tugas masing-masing secara optimal.

Referensi

Chinn, D., Dimson, J., Goodman, A., dan Gleeson, I.,  (2015), World-class Government: Transforming the UK Public Sector in an Era of Austerity: Five Lessons from Around the World. Discussion Paper. McKinsey&Company.

Denhardt, Robert B, dan Denhardt, Janet Vinzant, (2000), The New Public Service: Serving Rather Than Steering.

Dwiyanto, Agus, (2014), Kabinet dan Reformasi Birokrasi: Tugas Presiden Baru.

Ha, H.  dan Coghill, H. (2011),  E-Government in Singapore: A Swot and Pest Analysis. Asia-Pacific Social Science Review, 103-130.

Latif, Yudi, (2015), Mental Pancasila.

Prasojo, Eko dan Rudita, Laode, (2014), UU Aparatur Sipil Negara: merubah DNA Birokrasi.

Prasojo, Eko dan Rudita, Laode, (2014), Reformasi Administrasi Indonesia Menuju Pemerintahan Dinamis.

Prastowo, Yustinus, (2014), Reformasi Birokrasi dan Persoalan Subjek Etis.

Roskin, Michael G., Cord, Robert L., Medeiros, James A., dan Jones, Walter S., (2012), Political Science: An Introduction, 12 ed.. Pearson.

Sarwono, W. Sarlito, (2014), Revolusi Mental- Karakter Bangsa: Tinjauan Historis-Filosofis.

Wirutomo, Paulus, (2014), Revolusi Mental untuk Indonesia, Pokja Revolusi Mental.

Zuhro, Siti, (2014), Demokrasi dan Politik di Indonesia. Birokrasi.

http://asrulpkg.blogspot.com/2015/01/menggagas-kinerja-pemerintahan-pemerintah.html

http://administrasipublicsoedirman.blogspot.com/2015/03/pemerintahan-di-indonesia.html

https://liea02.wordpress.com/2011/01/11/pemerintahan-negara-maju-dengan-negara-berkembang/

http://www.ti.or.id/index.php/publication/category/research


[1] Penulis : Kepala BPKP


Cetak   E-mail