Pin It

Oleh : Hendro Witjaksono

DALAM RANGKA MENCIPTAKAN BIROKRASI BERSIH, KOMPETEN DAN MELAYANI MENUJU PEMERINTAHAN BERKELAS DUNIA 2019.

Latar Belakang

     Latar belakang mengapa perlu transformasi organisasi pemerintahan, sudah tidak dapat disangkal lagi, tinggallah kita semua mendukung perubahan yang diperlukan untuk peningkatan kinerja pemerintahan. Namun demikian, landasan mengapa hal itu sangat penting untuk dilakukan agaknya latar belakang mengapa diperlukan transformasi organisasi pemerintahaan ini perlu kita renungkan. Dengan demikian, paper ini dapat memfokuskan pada hal-hal yang terkait dengan langkah atau tindakan mentransform organisasi pemerintahan dari keadaan sekarang kepada keadaan yang diinginkan di masa yang datang.

     Perlunya transformasi organisasi pemerintahan sudah dinyatakan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025:

     “Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2015 merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, dalam 20 tahun ke depan (kini tinggal 10 tahun), sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dan mempunyai posisi sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat International.”

     Pada saat ini kondisi birokrasi di Indonesia belum mengalami perubahan mendasar yang besar. Masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan. Angka-angka statistik dan hasil survei menunjukkan masih rendahnya daya saing kita, masih rendahnya indeks persepsi korupsi, masih tinggi tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Permasalahan itu makin meningkat kompleksitasnya dengan desentralisasi, demokratisasi, globalisasi, dan revolusi teknologi informasi.

     Proses demokratisasi sepuluh tahun terakhir,  telah membuat rakyat makin sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara termasuk dalam pengawasan terhadap birokrasi perlu terus dibangun dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Kesiapan aparatur negara dalam mengantisipasi proses demokratisasi perlu dicermati agar mampu memberikan pelayanan yang dapat memenuhi aspek-aspek trnasparansi, akuntabilitas, dan kualitas yang prima dari kinerja organisasi pemerintahan. Globalisasi juga membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pemerintahan. Revolusi teknologi informasi (TI) akan mempengaruhi terjadinya perubahan manajemen penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Pemanfaatan TI dalam bentuk e-government, e-procurement, e-learning, e-commerce, dan cyber law juga akan menghasilkan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah, dan juga lebih transparan.

     Dalam rangka mewujudkan bangsa yang berdaya saing, seperti diamanatkan oleh RPJP Nasional (UU NO.17/2007), bahwa “pembangunan di bidang aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya.” Label reformasi birokrasi ini juga berarti reformasi administrasi pemerintahan secara keseluruhan termasuk di dalamnya mentransform atau mengubah institusi-institusi pemerintahan menjadi institusi-institusi birokrasi pemerintahan yang efektif, akuntabel,  dan efisien dalam menggunakan sumber daya.

     Dan kini kita telah mencapai waktu pelaksanaan RPJM ke-3 (2015 - 2019) yang  berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-2, RPJM ke-3 ini ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat.

     Kehidupan demokrasi bangsa yang makin mengakar dalam kehidupan bangsa sejalan dengan makin mantapnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi dengan menitikberatkan pada prinsip toleransi, nondiskriminasi dan kemitraan dan semakin mantapnya pelaksanan desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi itu mendorong tercapainya penguatan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai dalam berbagai aspek kehidupan. Bersamaan dengan itu kesadaran dan penegakan hukum dalam berbagai aspek kehidupan berkembang makin mantap serta profesionalisme aparatur negara di pusat dan daerah makin diharapkan mampu mendukung pembangunan nasional.

     Memperhatikan apa yang diamanatkan oleh RPJP nasional di atas dan terkait kondisi saat ini, masih banyak pembangunan di bidang aparatur negara yang harus dilaksanakan. Dan pembangunan sumber daya manusia memang merupakan fokus utama disamping sumber daya alam yang ada. Oleh karena itu, gerakan pembangunan yang melibatkan masyarakat yang dipicu oleh inisiatif masyarakat sendiri maupun inisiatif pemerintah dalam hal pembangunan sumber daya manusia Indonesia perlu terus menerus diupayakan.

Mempelajari Struktur dan Proses Bisnis Saat Ini

     Mempelajari proses bisnis saat ini untuk melakukan perubahan harus dilakukan agar perubahan selalu mengarah ke perbaikan, walaupun belum tercapai semuanya. Dari segi kesisteman dan metode kerja yang menggunakan cara berfikir kesisteman, mempelajari proses bisnis saat ini adalah untuk mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan demikian, keputusan untuk mengubah haruslah dilakukan atas dasar hasil penelitian, hasil riview, hasil evaluasi, hasil audit, atau hasil penelaahan yang memadai. Sehingga boleh dikatakan keputusan yang diambil berdasarkan bukti yang cukup diyakini (evidence based policy). 

     Dalam mempelajari proses bisnis ini semakin rinci semakin jelas, semakin mudah,  akan tetapi sebaliknya semakin besar, semakin ke arah makro semakin kurang jelas, dan semakin sulit. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah pengetahuan dan pengalaman praktik jika tidak dapat ditemukan inovasi baru yang logis dan meyakinkan. Demikian pula dalam mengidentifikasi rumpun atau kelompok-kelompok dan jenis-jenis /macam prosesnya haruslah dikenali secara hati-hati dan seksama. Dokumentasi pada tahapan identifikasi proses ini harus cermat sehingga, kita dapat menetapkan struktur organisasi yang sesuai kebutuhan dan tepat fungsi, tidak terjadi kontradiksi, tidak berlebihan (redundant) dan tidak bercerai berai (terfragmentasi) atau kurang terintegrasi.

     Dalam mempelajari proses bisnis yang penting dapat dicapai tujuan-tujuan seperti yang  dipercaya oleh para Weberian (penganut Max Weber) dengan pemikiran yang klasik, yaitu adanya:

  • Pembagian tugas yang baik.
  • Pembagian kewenangan dan pemisahan fungsi yang memadai.
  • Memperhatikan span of control dari manajemen.
  • Memperhatikan kesatuan komando (unity of command).

     Namun demikian, perkembangan dalam pengembangan tata kelola yang baik (good governance) bisa saja diadaptasi untuk menyusun organisasi pemerintahan. Misalnya, diperlukan cara pengorganisasian yang lebih fleksibel, dibentuk tatanan yang memberikan check and balances, selalu dibuka kemungkinan mekanisme umpan balik yang efektif, dan sebagainya.

     Berbagai perkembangan yang terjadi pada dasawarsa terakhir ini menyebabkan sebuah organisasi haruslah bersifat lebih dinamis dalam lingkungan strategisnya. Sebuah instansi pemerintahan semestinya juga berubah lebih dinamis, walaupun tidak se-dinamis di sektor korporasi, dalam melakukan fungsi pelayanan. Dan karena semua negara pada saat ini berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lain yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi, maka lingkungan strategis sebuah negara juga cepat berubah. Demikian pula organisasi korporasi dan bahkan organisasi yang nirlaba-pun lingkungan strategisnya cepat berubah. 

     Dalam melaksanakan pembangunan Indonesia masih berfokus pada pembangunan di bidang ekonomi, karena pada kenyataannya tingkat kesejahteraan masih rendah, yang ditandai dengan tingginya tingkat kemiskinan. Oleh karena itu, di tingkat makro dan meso haruslah dianalisis misalnya dengan menggunakan model  “structure conduct performance” (SCP) dari Joe Bain dalam buku Pepall, Lynnw, et al (2004), “Industrial Organization”,  maka roda perekonomian yang berjalan, sangat dipengaruhi oleh struktur pasar (structure) dan bagaimana  para  pebisnis dan korporat berperilaku (conduct), yang pada gilirannya  sangat menentukan kinerja perekonomian (performance). Dengan memahami struktur yang ada, kita dapat mengetahui mengapa para pelaku usaha dan perusahan-perusahaan berperilaku seperti yang mereka lakukan dan kita juga dapat memahami sebagian dari mereka sukses dan sebagian lainnya gagal.

     Dan jikapun dari hasil analisis, struktur ekonomi kurang baik maka harus dilakukan reformasi ekonomi, yang juga menyangkut kelembagaan dan unsur-unsur pelaku ekonomi yang terkait. Karena itu, analisis SCP ini akan dapat membantu para pengambil kebijakan agar dapat menghasilkan kebijakan publik yang baik dan meningkatkan kinerja perekonomian. Sekali lagi, tentu saja hal ini pada skala makro tidaklah mudah, karena berbagai faktor eksternal dan lebih khusus keterpengaruhan suatu negara pada era globalisasi ini sangat tinggi.

     Di tingkat meso, yaitu pada tingkat koordinasi antar sektoral, antar kementerian/lembaga, atau antar wilayah, diperlukan analisis yang bersifat “helicopter view” agar dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh tentang struktur yang ada. Pada tingkat ini, juga diperlukan telaahan mengenai struktur yang ada dan proses yang berlangsung. Pelaksanaan program-program pembangunan ekonomi yang besar tentulah memerlukan analisis klasik seperti SCP itu dan ditambah dengan berbagai analisis lainnya yang dapat mendukung efektivitas implementasinya nanti. Analisis-analisis itu terutama yang terkait dengan sosial dan kultural, dan masalah-masalah yang terkait dengan kemasyarakatan lainnya, baik dalam lingkup sosial politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya.

     Di tingkat mikro, yaitu pada tingkat Kementerian, Lembaga atau Instansi, mempelajari struktur pengelolaan dan proses bisnis mereka mungkin agak lebih jelas karena lingkupnya terbatas, mandatnya lebih spesifik dan tugasnya di bidang tertentu. Akan tetapi, sekali lagi bahwa negara ini merupakan sebuah sistem yang besar, jadi suatu institusi tentu ada kaitannya dengan institusi lainnya. Suatu instansi boleh jadi merupakan satu sub sistem yang kecil dari sebuah sistem negara. Karenanya, subsistem ini strukturnya dan kedudukkannya dalam sistem  yang besar haruslah terkait dan berkesesuaian (cocok) agar menghasilkan kinerja yang baik. Sub-sub sistem itu haruslah tidak terfragmentasi, tidak kontradiksi atau saling meniadakan hasil kegiatan, dan tidak berlebihan atau tidak redundant sehingga terintegrasi menjalankan misi guna mencapai tujuan yang sama.

     Analisis di tingkat mikro harus mempertimbangkan teori perilaku (organisasi),  kepemimpinan (leadership), dan juga budaya yang saat ini ada dan berkembang. Karena organisasi merupakan kumpulan orang-orang dan sumber daya lainnya, sudah tentu yang menjadi fokus dalam analisis adalah sumber daya manusia. Bagaimana membagi tugas dan tanggung jawab di antara berbagai anggota organisasi, kompetensi orang-orang yang ditugaskan pada job/ posisi tertentu, dan berbagai aturan tata kelola dan penata laksanaan program dan kegiatan yang mereka laksanakan, itulah yang menjadi fokus analisis.  

     Penyusunan struktur manajemen pada organisasi pemerintah seringkali berfokus pada mandat atau tugas yang diberikan peraturan perundangan, dan kurang melihat organisasi instansi pemerintah itu sebagai sebuah subsistem dari sistem yang besar. Sehingga ada kecenderungan membangun “istana” baru di sebuah kompleks permukiman. Pemikiran yang mementingkan sektor-nya sendiri, atau berpikir dalam kotak-kotak kepentingannya sendiri haruslah ditinggalkan. Yang penting bukanlah mendapatkan mandat sebesar dan seluas-luasnya,  akan tetapi hasil yang besar, keberhasilan yang gemilang dan ketepatan memerankan diri dalam melaksanakan mandat itulah yang lebih penting.

     Menyusun lembaga yang besar biasanya oleh para perancangnya dimaksudkan untuk memperoleh sumber daya yang besar pula. Pandangan ini tentu harus diubah. Yang penting sekali lagi bukan sumber daya yang besar, akan tetapi hasil yang besar, efisiensi yang tinggi, dan sesuai kebutuhan. Organisasi yang kecil dan ramping mungkin saja lebih efisien dan lebih mudah untuk “bergerak” mencapai tujuan-tujuan besar dengan lebih efisien.

     Penggunaan sumber daya yang besar dari negara juga harus diserta dengan pertanggung jawaban yang memadai dan bisa dipercaya (akuntabel). Lalu logikanya buat apa sumber daya yang besar jika membuat sulit untuk mempertanggun jawabkan? Jadi mindset pihak yang merancang organisasi harus diubah, bukannya mengutamakan pemerolehan sumber daya yang besar, akan tetapi harus berubah menjadi dapat secara efektif dan efisien mencapai tujuan seperti misi yang diemban.

     Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka melaksanakan reformasi organisasi, biasanya disebut sebagai penataan organisasi. Hal ini dapat berupa restrukturisasi, reframing, regrouping, revitalisasi dan rekayasa bentuk/ tatanan lainnya. Pada dasarnya mengubah struktur agar dapat beroperasi lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan. Kemudian setelah ditata strukturnya, biasanya diikuti dengan penetapan aturan main dalam bentuk tugas, fungsi, berikut kewenangan dan tanggung jawab masing-masing unit atau jabatan.

     Menurut literatur,  organisasi dapat diartikan seperti penjelasan berikut ini. Pertama, secara umum arti organisasi pada kamus bahasa Indonesia adalah “Kelompok orang yang secara bersama-sama ingin mencapai tujuan”, atau kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Kedua, menurut  Prof. Dr. Mr Pradjudi Armosudiro,  mengatakan organisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikatakan proses pengorganisasian adalah proses identifikasi dan pembentukan serta pengelompokan kerja, mendefinisikan dan mendelegasikan wewenang maupun tanggung jawab dan menetapkan hubungan - hubungan dengan maksud untuk memungkinkan orang-orang bekerjasama secara efektif dalam menuju tujuan yang ditetapkan. Sehingga sebuah organisasi tidak lepas dengan struktur organisasi. Karena struktur organisasi adalah cara suatu aktivitas organisasi dibagi, di organisir, dan dikoordinasikan.

     Menurut Ernes Dale, yang mengarang text book yang banyak dipakai di perguruan tinggi yang berjudul ''Management: Theory and Practice'' (1993),   sebuah struktur organisasi harus memuat tentang 5 hal  sebagai berikut:

  • Daftar pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi
  • Membagi jumlah beban kerja dalam tugas-tugas atau biasa disebut pembagian kerja (devision of work)
  • Menggabungkan tugas-tugas dalam keadaan yang logis dan efisien atau departementalisasi (departmentalization)
  • Menetapkan mekanisme untuk koordinasi
  • Memonitor efektivitas struktur organisasi dan melakukan penyesuaian apabila diperlukan

     Maka berdasarkan pandangan-pandangan di atas, banyak para perancang organisasi terjebak pada short cut langsung menuju membuat bagan organisasi (organisation chart), dan membahasnya dengan berbagai pihak. Karena seringkali bagan organisasi inilah wahana penggambaran cara pengorganisasian untuk mencapai tujuan bersama. Namun, agaknya penelitian terkini menunjukkan, tidak hanya itu, soal visi, misi, dan nilai-nilai yang dianut organisasi, kepemimpinan, dan budaya organisasi, juga ternyata penting untuk keberhasilan pencapaian tujuan bersama.

     Tak pelak lagi penataan organisasi ini sering kali diwujudkan dalam bentuk reorganisasi, yaitu membuat tatanan pengorganisasian yang baru. Jadi yang perlu diutamakan adalah pengorganisasi dan bukan hanya struktur organisasinya (organization chart). Pengorganisian ini tentulah salah satu strategi penting dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Struktur organisasi hanya alat berupa gambar yang menjelaskan struktur manajemen yang dikehendaki bisa berjalan secara efektif. Selebihnya, efektivitas organisasi masih bergantung lagi pada para anggotanya, para pemimpinnya, dan budaya yang dipraktikkan/ dikembangkan.

     Yulius E. Agung Seputra (2014) merangkum pandangan umum yang berkembang, bahwa organisasi bisa diartikan dalam 3 (tiga) hal, yaitu:

  1. Sebagai wadah: tempat dimana kegiatan manajemen dijalankan.
  2. Sebagai proses: memperhatikan interaksi/ kerja sama antar orang-orang yang menjadi anggota organisasi, baik formal maupun informasi.
  3. Sebagai sistem: (1) sistem sosial, (2) sistem fungsional, (3) sistem komunikasi.

     Oleh karena itu, dalam mempelajari sebuah organisasi kita haruslah mencermati ketiga-tiga hal tersebut agar memperoleh gambaran yang benar tentang kondisi saat ini.

     Pada saat ini trend yang sedang terjadi dalam mempelajari suatu organisasi di tingkat mikro adalah justru mempelajari proses bisnis yang saat ini dijalankan. Jadi struktur organisasi tidak dipandang sebagai barang mati, akan tetapi lebih dilihat sebagai cara orang untuk membagi pekerjaan, mengkoordinasikan pekerjaan dan mengarahkan segala aktivitas untuk mencapai tujuan organisasi. Karena suatu organisasi terkadang melaksanakan banyak misi, maka program dan kegiatannya-pun cukup banyak. Sehingga proses bisnis yang dipelajari juga cukup banyak. Oleh karena itu, mempelajari bisnis proses dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan (layer) makro-meso-makro, misalnya, sehingga dapat diketahui konteksnya.

     Hubungan-hubungan vertikal dan horizontal juga diidentifikasi agar dapat dipahami bagaimana proses bisnis yang sekarang ini dijalankan. Hubungan vertikal antara proses bisnis di tingkatan mikro dengan pada tingkatan meso, dan hubungan vertikal antara tingkatan meso dan makro harus dirancang secara logis. Demikian pula hubungan horizontal, terutama terkait dengan pembagian tugas, departementalisasi, dan hubungan kerja sama juga harus masuk akal. Di lingkungan organisasi pemerintahan (sektor publik) hubungan vertikal dan horizontal ini sering sulit didapat informasinya dari hanya sekedar bagan struktur organisasi saja. Di samping gambar struktur organisasi harus dibaca secara rinci tugas dan fungsi setiap jabatan, hubungan kerja, dan dokumen laiannya tentang organisasi dan tata kerja, sehingga diperoleh informasi tentang kondisi proses saat ini.

Pada tingkatan mikro, di dalam organisasi pemerintahan yang telah banyak menggunakan apa yang disebut e-government, yaitu tata kelola pemerintahan yang menggunakan teknologi informasi dan jaringan komunikasi, dapat digunakan analisi Structured Analysis and Design Method (dari Peter P. Chen, 1977). Metode ini secara teliti mempelajari dan mendokumentasikan proses, dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Identifikasi proses sistem yang ada saat ini (existing system) dan mendokumentasikan dalam process chart;
  2. Menarik gambaran logical design sistem yang ada saat ini;
  3. Membuat logical design sistem baru yang diinginkan;
  4. Menentukan physical design sistem yang baru.

     Dari langkah-langkah tersebut dapat diperoleh desain sistem yang baru. Walaupun mungkin tidak baru sama sekali, akan tetapi dari langkah pertama kemudian langkah kedua dan ketiga, maka kita telah berhasil menemukan gambaran proses dan sistem baru yang logis untuk diterapkan. Dalam lingkup mikro, analisisnya semakin rinci. Dan rincian penjelasan juga harus cermat didokumentasikan, agar dapat dibaca oleh banyak pihak. Pihak-pihak itu antara lain pengembang sistem, analisis system, programmer, dan teknisi komputer dan jaringan.

     Mempelajari struktur manajemen dan juga proses bisnis yang ada, ternyata tidak bisa berdiri sendiri dalam silo yang tak terpengaruh dunia luar. Output dari suatu divisi mungkin digunakan sebagai input oleh divisi lainnya (horizontal). Demikian pula output pada  kegiatan di suatu unit kerja instansi pemerintahan mungkin saja untuk mendorong tercapainya hasil program instansinya (hubungan vertikal). Pendeknya, saling keterkaitan harus menjadi perhatian para perancang organisasi, walaupun fokusnya masih tetap pada organisasi yang dievaluasi.

Membangun Institusi

     Membangun suatu lembaga atau institusi tidak hanya aktivitas menetapkan struktur organisasinya saja, namun juga secara terus menerus meningkatkan kapasitas untuk menjalankan perannya. Menitik beratkan pembangunan kelembagaan pada kapasitas dalam menjalankan peran ini penting dari pada berorientasi pada pelaksanaan tugas. Jika berorientasi pada pelaksanaan tugas, seringkali sebuah lembaga minta kewenangan yang cukup untuk menjalankan tugasnya, dan pada banyak kasus kewenangan ini yang disalahgunakan oleh oknum yang ada dalam organisasi. Jika berorientasi pada peningkatan kapasitas agar dapat berperan lebih baik, biasanya lebih cenderung terbuka untuk berbagai inovasi dan bukan hanya task oriented atau tidak hanya sekedar melaksanakan tugas.

     Membangun institusi disamping struktur organisasi, tata kerja, dan tata kelola, juga membangun kemampuan tim atau unit organisasi atau divisi-divisi atau bagian-bagiannya dalam mencapai sasaran yang diinginkan dan pada gilirannya mencapai tujuan organisasi. Dalam membangun kemampuan tim atau unit kerja, diperlukan pembagunan kapasitas sumber daya manusianya (SDM), budaya kerja dan budaya organisasinya. Meningkatkan kapasitas SDM , membangun tim, membangun budaya kerja, dan selanjutnya mengembangkan budaya organisasi ini merupakan rangkaian kegiatan yang sebaiknya dilakukan secara simultan atau secara bersama-sama secara sistematis dan terintegrasi.

     Secara empiris banyak dijumpai bahwa budaya organisasi mempengaruhi perilaku anggota organisasi yang baru masuk. Sebaliknya anggota organisasi yang baru masuk juga dapat mempengaruhi budaya organisasi yang sudah ada, terutama jika yang baru masuk ke dalam organisasi itu di tingkat pimpinan atau bahkan pimpinan tertinggi. Namun demikian pembentukan budaya organisasi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga perubahannya, tentu perubahan ke arah yang baik,  juga memakan waktu. Tentang seberapa lama seseorang pemimpin atau anggota organisasi baru yang bisa mengubah budaya organisasi menjadi lebih baik lagi akan sangat bergantung pada seberapa kuat pengaruh personil baru itu terhadap organisasi.

     Yang sudah agak jelas ialah bahwa orang-orang yang unggul atau para manajer yang baik, atau para pemimpin yang baik dihasilkan oleh organisasi yang baik.  Jadi sebetulnya sebuah organisasi sama halnya dengan sebuah sekolah, jika sekolahnya baik, maka akan menghasilkan murid-murid yang baik dan unggul. Organisasi yang baik akan menghasilkan orang-orang yang baik dan berhasil dan jika orang itu keluar dari organisasi akan terlihat keberhasilannya di tempat lain. Apakah semua kasus terjadi seperti itu? Tentu jawabannya tidak. Ada orang yang berhasil di suatu unit kerja atau organisasi tetapi tidak berhasil di unit kerja atau organisasi lain. Yang jelas, organisasi yang baik di dalamnya ada orang-orang yang baik.  Dan organisasi yang baik menghasilkan orang yang baik. Oleh karena itu, inilah pentingnya pembangunan kelembagaan (organisasi), karena membangun organisasi tidak hanya sekedar menulis struktur manajemen-nya akan tetapi juga diperlukan pengembangan budaya-nya.

     Di dalam organisasi pemerintahan, para pengamat sering sekali mengutarakan bahwa di dalam organisasi pemerintahan yang baik di dalamnya juga akan terbina calon-calon pemimpin yang baik. Oleh karena itu, membangun institusi pemerintahan yang baik, yang bertata kelola yang baik, berbudaya yang baik dan unggul sangatlah penting menjadi program pemerintah yang berkesinambungan. Sebaiknya institusi pemerintahan tidak mudah untuk di bongkar pasang secara “terlalu sering” dan terlalu cepat sebelum dilakukan penguatan kelembagaan atau pembangunan institusional yang terprogram.

     Tak  cukup agaknya suatu institusi pemerintahan diganti, diubah secara signifikan, dimerjer, atau dibubarkan, tetapai keputusan itu dilakukan dengan berdasarkan telahaan sekilas. Keputusan perubahan organisasi harus berdasarkan evaluasi yang mendalam atau bahkan suatu audit yang menyeluruh terhadap suatu instansi berikut instansi terkait terdekat dan pengumpulan bukti-bukti yang cukup. Hal ini tentu guna pengambilan keputusan yang hati-hati, untuk misalnya : dimodifikasi sedikit, digabungkan (merger), dirampingkan atau sebaliknya ditambah/ dikembangkan, dan dibubarkan. Jika mungkin, perubahan organisasi itu dilakukan dengan evaluasi yang mendalam, ditambah audit terinci terhadap intansi yang menjadi fokus evaluasi. Tentu kendalanya adalah masalah biaya dan mekanisme  penyelenggaraan evaluasi dan audit itu sendiri. Di samping audit organisasi memerlukan biaya yang besar, masalah lainnya adalah mencari pihak konsultan yang berintegritas tinggi, neutral dan independen tidaklah mudah dengan biaya yang terbatas.

 Mengubah Mindset dan Budaya Kerja

     Organisasi pemerintahan yang efektif, efisien, dan akuntabel dapat terwujud jika di dalamnya terdapat budaya kerja yang baik dan mendukung dalam pencapaian tujuan. Budaya kerja yang baik ini terutama ditujukan untuk meningkatkan etos kerja semua pegawai dan pejabat suatu organisasi. Dan dalam membangun budaya kerja yang baik dan pada akhirnya membangun budaya organisasi yang unggul, pada dasarnya berupaya untuk mengubah 2 (dua) hal yaitu: (1) Sikap, cara merasa, cara memahami; dan (2) Mindset, cara pandang atau cara berfikir; sehingga dapat mengakibatkan perubahan perilaku dan tindakan ke arah perbaikan.

     Cara yang ditempuh dalam mengubah sikap dapat dilakukan dengan melalui pendidikan, pelatihan, pemagangan, dan supervisi yang mendidik.  Hasil dari upaya ini dapat berakibat berubahnya perilaku pegawai. Disini diperlukan adanya upaya pendidikan dan pelatihan agar pegawai mengerti apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dan kemudian pengetahuan yang sudah diperoleh dipraktikkan sehari-hari di tempat kerja. Implementasi pengetahuan ini dapat berupa pembiasaan hal-hal yang baik di setiap kesempatan di tempat kerja. Sudah tentu hal ini adalah pembiasaan hal-hal yang benar dan baik untuk organisasi dan semua orang. Dan sebaliknya juga perlu dilakukan penghentian kebiasaan buruk yang sering dilakukan yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi. Pembiasaan hal-hal yang baik dan benar serta penghentian kebiasaan yang buruk ini akan sedikit demi sedikit mengubah kinerja organisasi menjadi lebih baik.

     Cara lain yang perlu ditempuh dan dicoba adalah mengubah cara pandang atau mindset para pegawai dan pejabat dengan melalui sejumlah rekayasa pelatihan ataupun pendidikan dan pelatihan biasa. Rekayasa ini dapat lebih cepat untuk mengubah karakter dan kebiasaan buruk orang dewasa, dibanding pendidikan. Mengubah mindset ini diyakini oleh Steven Covey lebih akan berhasil membuat perubahan besar atau bahkan lompatan besar, dibanding mendorong perubahan sikap yang hasilnya mungkin secara bertahap mengubah dan menghentikan  kebiasaan buruk  atau membiasakan hal-hal yang baik yang dipandang lebih produktif, lebih efektif, atau mungkin lebih efisien.

     Perubahan mindset dan budaya kerja di lingkungan instansi pemerintah pada saat ini terus menerus dilakukan melalui pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi pusat maupun daerah. Jika reform atau perbaikan yang dilakukan diarahkan kepada delapan area perubahan, maka salah satunya adalah perubahan mindset dan budaya kerja ini. Kini instansi pemerintah diajurkan untuk membangun budaya kerjanya untuk menjadi budaya organisasi yang unggul melalui petunjuk Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 30 Tahun 2012 (tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja) dan PermenPARB nomor 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen Perubahan di Instansi Pemerintah. 

     PerMenPANRB nomor 39/2012 pada dasarnya memberikan keleluasaan kepada instansi pemerintah untuk mengembangkan budaya kerjanya dengan menggali nilai-nilai organisasinya masing-masing. Budaya kerja yang dimaksud ini berkaitan erat dengan perilaku dalam menyelesaikan pekerjaan. Perilaku ini merupakan cerminan sikap kerja yang didasari oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki setiap individu. Dan ketika individu-individu ini masuk ke dalam sebuah organisasi, maka mereka diharapkan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai, norma-norma, sikap dan perilaku yang dikehendaki organisasi untuk mencapai tujuannya. Hasil penerapan dan pengembangan budaya kerja ini dapat diamati dalam hal-hal berikut:

  1. Pemahaman terhadap makna bekerja.
  2. Sikap terhadap pekerjaan atau apa yang dikerjakan;
  3. Sikap terhadap lingkungan tempat kerja.
  4. Sikap terhadap waktu.
  5. Sikap terhadap peralatan yang digunakan dalam bekerja;
  6. Etos kerja, dan
  7. Perilaku saat bekerja atau mengambil keputusan.

     Kemudian, dalam pelaksanaan reformasi birokrasi untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani, instansi pemerintah dianjurkan untuk secara sistematis merencanakan dan melaksanakan pembangunan agen perubahan. Hal ini dimaksudkan agar reformasi dapat berlangsung lebih cepat dan berhasil berubah menjadi lebih baik. Pada intinya pembangunan agen perubahan ini, ingin menciptakan tunas-tunas atau kader-kader pegawai yang berintegritas tinggi, profesional dan lebih bertanggung jawab, yang dapat dijadikan “role model” atau contoh/ tauladan bagi pejabat atau pegawai lainnya.

     Dengan mengacu pada  Visi Pemerintah saat ini (Presiden Jokowi-JK) yaitu “Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.”. Dan visi tersebut tertuang pada cita-cita politik Nawacita yaitu antara lain “membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya”. Hal ini tentu pengembangan budaya kerja di lingkungan intansi pemerintah diarahkan pada visi dan tujuan tersebut. Visi ini juga sesuai dengan Visi besar Reformasi Birokrasi yaitu “Terwujudnya Pemerintahan Berkelas Dunia Tahun 2019”. Karena itu, dengan pembangunan agen perubahan, diharapkan dapat terjadi perubahan yang lebih besar dan lebih cepat sehingga birokrasi pemerintah dapat mencapai predikat berkelas dunia.

     Dalam uapaya menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani, Pemerintah dan kita semua yakin bahwa dengan birokrasi pemerintahan yang demikian dapat mendorong keberahasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Adapun ciri-ciri birokrasi bersih, kompeten dan melayani seperti berikut:

Birokrasi bersih:

-          Berintegritas tinggi, Berdaya tahan tinggi, Anti korupsi

-          Bebas penyalahgunaan wewenang

-          Kepemimpinan yang kolaboratif, demokratis, dan partisipatif.

Birokrasi kompeten:

-          Profesional, Berkompetensi yang dibutuhkan, Ahli, Terampil;

-          Mengerti, paham, dan berwawasan luas.

-          Belajar terus, pengelola pengetahuan utk organisasi.

Birokrasi yang melayani:

-          Senang melayani, beremphati tinggi;

-          Bekerja sama, jaringan yang luas;

-          Berorientasi kepada pelanggan;

-          Mendahulukan kepentingan umum.

-          Tidak itungan, atau mengejar bonus.

-         Sopan, hati-hati, melayani dengan hati dan sepenuh hati.

     Melihat tujuan yang hendak dicapai dalam reformasi birokrasi tadi, perubahan mindset dan budaya kerja (culture set) menjadi sangat penting dan mendesak untuk diwujudkan.  Dan dengan perubahan mindset dan budaya kerja diharapkan kinerja birokrasi pemerintahan kita akan membaik. Dalam arti secara nyata terwujud perbaikan pelayanan publik dan peningkatan mutu kebijaan publik yang ditetapkan oleh aparat pemerintahan.

Revolusi Mental

     Seiring dengan datangnya pemerintahan baru Presiden Jokowi-JK, upaya pelaksanaan perubahan ini difokuskan kepada perubahan mentalitas aparatur negara dan masyarakat. Mentalitas birokrat di pemerintahan terutama menjadi target perubahan oleh pemerintah saat ini. Gerakan Revolusi Mental sejauh mungkin digemakan dan digelorakan agar terjadi perubahan yang cukup besar baik pada aparat pemerintahan negara maupun masyarakat luas.

     Didorong oleh keinginan untuk bisa melakukan perubahan itulah sebenarnya revolusi mental hendak dilaksanakan. Kata kunci perubahan ini, menjadi perhatian banyak orang baik di dalam dan di luar negeri, baik orang Indonesia sendiri, ataupun orang asing. Harapan adanya perubahan ini pada awalnya, memang agak redup, akan tetapi setelah revolusi mental ini dihembuskan, maka harapan perubahan itu kemudian timbul kembali. Perubahan-perubahan yang dikehendaki yaitu berubah dari memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk atau kurang baik atau kurang tepat menjadi memiliki kebiasaan-baik yang mendorong tercapainya kehidupan yang lebih baik.

     Kita perlu memahami apa yang dimaksud revolusi mental yang menjadi prioritas perubahan yang diinginkan dalam melakukan reformasi birokrasi. Berdasarkan wacana publik dan berbagai tulisan pakar mengatakan bahwa,  pertama, yang  dimaksud dengan mental ini adalah mengait ke mentalitas atau sifat mental yang dipunyai atau yang melekat  atau yang sementara ini ada dalam diri orang-orang dan masyarakat Indonesia. Misalnya, mentalitas bangsa yang terjajah, mentalitas penguasa feodal, mentalitas priyayi, mentalitas yang inferior (minder), mentalitas  yang superior (mendominasi), dan mentalitas lainya yang nyata-nyata ada dalam masyarakat dan untuk tujuan analisis sudah banyak dibahas oleh para pemikir.

     Kedua, kita juga harus mendudukkan pengertian mental ini dengan yang sebenarnya ada dan bisa diamati. Mental tidak hanya berkaitan dengan moral, hati nurani, dan hal-hal yang bersifat tidak tampak (rohani yang intangible ), tetapi juga bersifat ragawi (tangible) yang  oleh mata bisa diamati. Hal ini penting agar, kita dapat memikirkan dan memberi tempat agar revolusi mental menyangkut baik hal-hal yang bersifat tidak tampak maupun yang tampak mata wujud nyatanya. Sehingga perubahan mentalitas dalam revolusi mental  dapat diarahkan untuk mengubah baik cara pandang, cara pikir, cara merasakan, pola pikir, paradigma berfikir, maupun perilaku, tingkah laku nyata, gaya, tabiat, perbuatan, kebiasaan, akhlak, dan budaya.  

     Jadi sekali lagi, yang dimaksud dengan perubahan mental ini tidak hanya menyangkut perubahan moral atau hal yang bersifat tidak tampak, tetapi juga yang tampak.  Jadi lebih tepat jika perubahan mentalitas atau perubahan ahlak yang dicerminkan pada perilaku, tingkah laku, adab, gaya, tabiat, cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak.

     Lalu apa yang dimaksud dengan revolusi dalam revolusi mental? Ini tentu bukan hanya dimaksudkan untuk menekankan perlunya perubahaan yang ala kadarnya, akan tetapi perubahan total, perubahan yang mendasar, perubahan yang lebih cepat, perubahan yang lebih besar dari keadaan sebelumnya.  Istilah revolusi memang diakui agak bombastis, akan tetapi mengingat pentingnya perubahan terhadap mentalitas itu maka digunakan istilah revolusi, seperti halnya revolusi industri, revolusi sain, revolusi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang sekarang ini sedang berjalan.

     Pelaksanaan perubahan yang mengarah pada revolusi mental pada saat ini dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui: pendidikan, pelatihan, pemagangan, workshop, sosialisasi peraturan dan kode etik, rekayasa-rekayasa psikologis, kampanye dan penyuluhan, serta edukasi terhadap masyarakat melalui berbagai media/ instrumen dan saluran komunikasi. Revolusi mental yang menitik beratkan pada perubahan mentalitas ini sangat berkaitan dengan perubahan sikap dan cara pandang /cara berfikir (mindset). Oleh karena itu, berbagai jalan haruslah ditempuh agar terjadi perubahan mentalitas yang besar di berbagai instansi pemerintah, dan pada gilirannya di dalam masyarakat juga terjadi perubahan mentalitas yang akan memperbaiki keadaan negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan

     Jadi disini aparat negara atau para pejabat yang ada pada birokrasi pemerintahan dan para pegawai diharapkan menjadi contoh di lingkungannya masing-masing dan dalam masyarakat untuk berlaku profesional, bersih dan melayani, serta dapat bersinergi (gotong royong) saling membantu untuk mensukseskan pembangunan di berbagai bidang. Pengalaman penerapan kiat-kiat untuk memberantas korupsi, bersikap adil, dan transparan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan yang baik, telah mengajarkan pada kita bahwa perubahan mentalitas ini sungguh sangat lambat. Dalam lima tahun terakhir pelaksanaan reformasi birokrasi mengalami berbagai kendala. Kendala itu antara lain, kendala biaya, kurangnya keahlian (expertis), dan kurangnya contoh nyata yang bisa ditularkan ke entitas lain.  

     Untuk kendala biaya, sudah tidak bisa disangkal lagi bahwa untuk melakukan reform dibutuhkan biaya yang cukup besar dan kesabaran yang luar biasa. Biaya yang besar itu digunakan untuk melakukan berbagai upaya, seperti audit terhadap organisasi, analisis jabatan, rekrutmen dan seleksi terbuka, pendidikan dan pelatihan, rekayasa sistem, penerapan teknologi informasi dalam pengelolaan dan interaksi dengan masyarakat, dan sebagainya. Kendala yang kedua, adalah kurangnya keahlian yang dikuasai oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam melakukan reformasi pada dirinya sendiri. Pelaksanaan berbagai perubahan di instansi pemerintah selalu membutuhkan konsultan atau pihak/ perusahaan yang kompeten dalam membantu pelaksanaan perubahan. Tanpa dibantu oleh para konsultan, atau para trainer, atau para coach (pelatih) di luar instansi jarang sekali bisa dilakukan perubahan yang berjalan dengan baik.

 Simpulan

     Pada intinya transformasi orgnisasi dari kondisi saat ini ke kondisi yang diharapkan, memerlukan berbagai cara antara lain melalui penataan organisasi dan perubahan budaya kerja. Perubahan yang diinginkan yang menjadi pemicu keberhasilan pembangunan di bidang lainnya adalah perubahan mindset dan budaya kerja aparat negara. Sehingga birokrasi pemerintahan negara dapat bekerja secara baik. Perubahan mentalitas para pemimpin dan pegawai aparatur negara sangat diperlukan, terutama perubahan cara pandang, cara pikir, atau mindset dan perilaku atau tindakan agar memperoleh hasil yang positif. Hasil yang positif itu adalah meningkatnya kinerja aparatur negara itu sendiri. Cara-cara lama yang sudah tidak tepat, atau kebiasaan yang kurang baik yang masih ada harus dikikis dan ditinggalkan, dan berubah membiasakan kebiasaan yang baru yang lebih baik.

     Perubahan mindset atau cara pikir biasanya akan dapat mencapai hasil yang lebih besar dari pada sekedar mengawasi dan mengoreksi perilaku.  Perubahan-perubahan ke arah perbaikan itu akan lebih berhasil lagi kalau kita dapat mengubah keduanya, yaitu baik mindset maupun sikap sehingga tercermin pada perilaku sehari-hari untuk menjadi kebiasaan baru yang lebih baik.

 

Daftar Bacaan:

Agung Seputra, Yulius E., (1014), Manajemen dan Perilaku Organisasi, Graha Ilmu, Jogjakarta.

Chrisnandi, Y. (2015), Revolusi Mental sebagai Gerakan Pemerintah dan Masyarakat Guna Memperbaiki Indonesia. Makalah yang disampaikan pada Acara di Kepolisian RI, September 2015.

Gibson, James. L., et al. (1984), Organisation, 4th edition, diterjemahkan oleh Djoerban Wahid, SH. (Organisasi dan Manajemen, Perilaku, Struktur, Proses), Penerbit Erlangga.

Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the worplace theory research and application. California: Sage Publications.

Pepall, Lynne. Daniel J. Richards & George Norman, Industrial Organization: Contemporary Theory and Practice (with Economic Applications), 3rd ed. (2004). South-Western College Publication

Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior (10th ed). New Jersey : Prentice Hall.


 [1] Penulis adalah Staf Ahli Bidang Komunikasi Strategis dan Hubungan Kelembagaan pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


Cetak   E-mail